REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jatim dr. Endah Setyarini, S.pa mengatakan, sekolah sebaiknya tetap ditutup selama pandemi Covid-19. Ia mengatakan hal ini sesuai rekomendasi WHO.
Apalagi, ada Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri yang menyatakan sekolah yang diperbolehkan dibuka hanya sekolah yang ada di zona hijau atau setidaknya zona kuning Covid-19. Itu pun tetap harus dilaksanakan dengan penerapan protokol ketat.
"Pembelajaran tatap muka belum direkomendasikan selama suatu daerah belum menjadi zona hijau, atau setidaknya zona kuning,” kata Endah dalam diskusi online yang diselenggarakan Lembaga Perlindungan Anak Tulungagung dan Jurnalis Sahabat Anak, Rabu (18/11).
Endah menambahkan, selain zona risiko, ada banyak hal yang perlu menjadi pertimbangan sebelum memutuskan kembali digelarnya pembelajaran tatap muka. Pertama, melakukan pemetaan kasus positif per kelurahan.
Kemudian, melakukan pemetaan lokasi sekolah termasuk dari mana saja muridnya berasal. "Karena bisa saja sekolahnya zona hijau tapi muridnya ada yang dari zona merah dan terjadi penularan sesama siswa, lalu ke orang dewasa di sekitarnya,” ujar Endah.
Selain itu, lanjut Endah, perlu diperhatikan pula transportasi siswa ke sekolah. Siswa yang menggunakan kendaraan umum tentunya akan lebih berisiko. Selain itu, perlu diperhatikan kontak siswa atau guru dengan orang lain.
Wakil Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia Jatim dr. Atik Choirul Hidajah, M.Kes memaparkan, jumlah kasus Covid-19 pada anak di Indonesia mencapai 9,7 persen dari total penderita Covid-19, atau sejumlah 24.966 anak. Secara rinci, jumlah tersebut terbagi kepada 2,4 persen anak usia 0-5 tahun, dan 7,3 persen anak usia 6-18 tahun.
Menurutnya, untuk kembali membuka sekolah dan melaksanakan pembelajaran tatap muka, dibutuhkan kajian secara ilmiah. ”Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merupakan pilihan paling baik untuk mencegah penularan antara siswa serta penularan siswa kepada guru,” ujarnya.
Namun, ia meminta orangtua mewaspadai imbas akibat PJJ bagi kesehatan anak. Di antaranya Computer Vision Syndrome seperti gangguan mata, otot, dan penglihatan akibat terlalu lama menatap layar gawai.
Child Protection Spesialist UNICEF Naning Pudjijulianingsih mengatakan, prioritas saat ini adalah bagaimana semua terlindungi. Artinya, pembelajaran tetap muka bergantung pada kesiapan stakeholder terkait. Utamanya kesiapan sekolah dan guru.
"Kemudian siapa yang mengawasi kalau PTM dijalankan. Apakah perlu ada Satgas?" ujarnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, Andriyanto menyatakan, beberapa daerah di Jatim telah melaksanakan uji coba pembelajaran tatap muka. Menurutnya, uji coba pembelajaran tatap muka di Jatim tidak bisa dielakkan.
Namun, dia mengatakan, pembelajaran tatap muka tetap harus dilaksanakan dengan penerapan protokol kesehatan ketat. Andriyanto mengatakan, pentingnya kembali digelar pembelajaran tatap muka karena adanya kekhawatiran anak akan kehilangan kecerdasan akibat terlalu lama belajar secara daring.
Tidak hanya anak-anak kalangan ekonomi bawah, namun anak-anak dari keluarga menengah atas pun bisa mengalami hal yang sama. ”Yang pertama, ada penelitian yang menunjukkan kekhawatiran anak akan kehilangan kecerdasan atau terjadi cognitive loss akibat pandemi ini,” kata Andriyanto.
Direktur LPA Tulungagung Winny Isnaini menambahkan, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan baik oleh orang tua maupun anak-anak saat pandemi. Bagi orang tua, salah satunya adalah bersiap menghadapi kebiasaan baru seperti mendampingi anak belajar secara kekiniaan.
Bagi anak-anak didorong mampu memanfaatkan IT untuk mendukung masa depan. Namun, kata dia, jangan sampai anak-anak yang justru dikendalikan IT.