Rabu 18 Nov 2020 22:21 WIB

Pemerintah Komitmen Cegah Resistensi Antimikroba pada Ternak

Resistensi antimikroba mengancam kemampuan tubuh melawan penyakit

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Gita Amanda
Peternakan sapi (ilustrasi)
Foto: Antara
Peternakan sapi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 telah bencana kemanusiaan global yang dengan cepat menjadi fokus perhatian dunia. Namun, sejak beberapa tahun silam, dunia juga sedang dihadapkan pada ancaman pandemi lain, yaitu resistensi antimikroba atau penyakit yang kebal terhadap obat.

Resistensi antimikroba sendiri adalah kondisi di mana virus atau bakteri tidak dapat dimatikan dengan antimikroba (anti virus) atau obat antibiotik. Hal ini mengancam kemampuan tubuh baik hewan maupun manusia dalam melawan penyakit infeksi yang dapat mengakibatkan kecacatan bahkan kematian.

Baca Juga

Dalam kasus resistensi antimikroba pada hewan ternak khususnya, menjadi berbahaya untuk manusia karena virus resisten pada hewan ternak akan sulit diberantas oleh penggunaan obat-obatan. Imbasnya, virus tersebut bisa menular ke tubuh manusia jika manusia mengkonsumsi hewan ternak yang mengandung virus resisten.

Adapun beberapa penyebabnya seperti, penggunaan antimikroba secara berlebihan, pemakaian antimikroba tanpa indikasi, penggunaan di bawah dosis yang dianjurkan, serta transmisi bakteri resisten di fasilitas kesehatan yang berakibat abainya menjalankan kewaspadaan.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Nasrullah, mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk mencegah terjadinya resistensi antimikroba di Indonesia. Pasalnya, jika tidak ditangani dengan serius, situasi bisa menyebabkan bencana kemanusiaan yang berbahaya.

"Penggunaan antimikroba untuk tujuan pencegahan penyakit dan pemacu pertumbuhan pada ternak yang sehat harus dihindari," kata Nasrullah, Rabu (18/11).

Ia menambahkan, peternak juga perlu menerapkan praktik-praktik peternakan yang baik dan pencegahan serta pengendalian infeksi. Harapannya, bisa menghasilkan produk peternakan yang sehat, bebas residu antibiotik dan bebas penyakit.

Nasrullah menyampaikan, sejak bulan Juli 2020, Indonesia telah melarang penggunaan obat colistin pada hewan ternak maupun non-ternak. Pelarangan ini dilakukan pemerintah guna mencegah terjadinya resistensi antimikroba.

Adapun beberapa upaya tersebut dilakukan melalui berbagai rute pemberian dan akan memperluas daftar antibiotik yang dilarang untuk pemicu pertumbuhan ternak di tahun-tahun mendatang, serta mengurangi penggunaan antimikroba atau antibiotik yang umum digunakan pada manusia.

Ia menjelaskan, pemerintah sudah mengeluarkan beberapa regulasi dalam hal mencegah terjadinya resistensi antimikroba. Misalnya, lewat UU 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 51 ayat (3) yang menyebutkan setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.

"Selain itu, ada juga aturan pada Permentan 14 Tahun 2017 Pasal 4 yang mengatakan obat hewan yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dilarang digunakan pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia," ujar Nasrullah.

Ia menjelaskan, Kementan memiliki beberapa upaya lain dalam hal pencegahan resistensi antimikroba ini. Di antaranya, meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang resistensi antimikroba, membangun komitmen pemangku kepentingan dalam upaya mencegah dan mengendalikan resistensi antimikroba di setiap sektor.

Kemudian, menurunkan prevalensi resistensi antimikroba di setiap sektor, lalu mengembangkan inovasi pencegahan dan tata cara pengobatan infeksi, serta alternatif pengganti antimikroba serta meningkatkan koordinasi dan kolaborasi terpadu dalam upaya mencegah dan mengendalikan resistensi antimikroba.

"Setidaknya kami mempunyai enam tujuan strategis untuk pengendalian resistensi antimikroba ini pada tahun 2020 sampai tahun 2024," jelasnya

Ia pun berharap, adanya segala upaya ini bisa berdampak signifikan terhadap sektor kesehatan hewan dengan adanya penurunan penggunaan antimikroba di peternakan ayam broiler sebagai profilaksis, dari 80 persen menjadi 50 persen di tahun 2024, berdasarkan dengan surveilans AMU.

Kemudian, terjadi peningkatan praktik biosekuriti dan penatalaksanaan penggunaan antibiotik di peternakan ayam petelur dari 4,4 persen menjadi 20 persen di 2024 dengan sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement