Rabu 18 Nov 2020 22:14 WIB

Prancis Bungkam Media Pengkritik ‘Perang’ Macron VS Islamis?

Sejumlah media ditekan untuk menghentikan artikel kritik Macron

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Sejumlah media ditekan untuk menghentikan artikel kritik Presiden Prancis Emmanual Macron
Foto: EPA-EFE/IAN LANGSDON
Sejumlah media ditekan untuk menghentikan artikel kritik Presiden Prancis Emmanual Macron

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Presiden Prancis Emmanuel Macron melipatgandakan dan menekan surat kabar di luar negeri serta para Muslim untuk menerima narasinya tentang sekularisme. 

Pemerintah Prancis akan membuat para pengkritiknya percaya bahwa pernyataannya hanyalah kesalahpahaman yang serius. Atau, lebih buruk lagi, kampanye fitnah yang dipimpin pers Anglo-Amerika yang "melegitimasi" kekerasan di Prancis menyusul pembunuhan brutal terhadap Samuel Paty.

Baca Juga

Kebingungan yang menyakitkan Presiden Prancis Emmanual Macron adalah Prancis sedang distigmatisasi yang diyakini sebagai rasis dan Islamofobia. Pada intinya, Macron dan banyak rekannya konon percaya bahwa gagasan Prancis tentang "universalisme" yang menetapkan bahwa di ruang publik itu tidak ada pembeda seperti ras, etnis, agama, jenis kelamin, budaya, atau jenis kelamin.

Di Prancis, orang-orang berkecil hati, dan beberapa orang akan tertekan. Namun kritik terhadap model sosial laicite Prancis, sebuah versi sekularisme kaku yang dipraktikkan di Prancis, percaya bahwa gagasan universalisme telah menjadi dogma yang menghalangi negara untuk menangani ketidakadilan sistemik yang bersinggungan dengan ras dan agama.  

Sementara di tempat-tempat seperti Inggris dan Amerika Serikat, tanda-tanda kesalehan yang terlihat dilindungi dan dilihat sebagai bagian dari permadani yang memperkuat negara secara keseluruhan, Prancis mengambil pendekatan sebaliknya. Ini melarang ekspresi keyakinan dari gedung-gedung publik dan dalam keadaan tertentu dari ruang publik. 

"Ada teori Prancis, universalisme, dan ada kenyataan," kata Yasser Louati, seorang aktivis hak asasi manusia Prancis yang memimpin LSM 'Committee for Justice & Liberties For All', dilansir di TRT World, Rabu (18/11). 

"Ya, Prancis mengkhotbahkan univeralisme tetapi kenyataannya jika Anda adalah orang kulit hitam atau Arab, Anda 20 kali lebih mungkin menghadapi profil rasial polisi. Jika Anda mengenakan jilbab, hal itu berdampak pada peluang Anda mendapatkan pekerjaan," kata Louati. 

Suara seperti Louati membuat gerakan tidak nyaman di Prancis. Bahwa minoritasnya menilai realitas Prancis melalui prisma yang berbeda dan berbicara kepada media internasional, atau lebih buruk lagi kepada pers berbahasa Inggris, mengundang kebencian.

"Keistimewaan Prancis menunjukkan keyakinan mendalam pada imajinasi Prancis bahwa negara ini sedang dalam misi untuk memberadabkan seluruh dunia. Maka jika Anda mengkritik Prancis, Anda mengkritik kemegahan Prancis," tambahnya.

Ada rasa "hak' yang hanya dipahami orang Prancis tetapi seluruh dunia tidak memahaminya. "Hanya orang Prancis kulit putih yang dapat mengkritik seluruh dunia, namun ketika orang memegang cermin ke Prancis, mereka jangan menerimanya," tutur Louati.

Keluhan Prancis dengan liputan yang berasal dari platform berita internasional telah mendorong Istana Elysee ke jalan perang. Paris terkejut bahwa model sekulernya telah menjadi sorotan di kalangan pers Angolo-Amerika, yang meyakini mereka berada di pihak yang sama dalam perang melawan "ekstremisme". Sekarang mereka terpaksa membujuk pers untuk menekan narasinya.

Pada 2 November, Financial Times (FT) menerbitkan artikel yang dibuat salah satu staf penulisnya, Mehreen Khan, yang notabene juga seorang Muslim. Pendapat umum dari artikel tersebut menyatakan bahwa perang Macron terhadap "separatisme Islam" tidak hanya memecah belah Prancis tetapi telah menciptakan kepanikan moral terhadap warga Muslimnya.

FT menghapus artikel tersebut setelah ditekan kantor Macron karena dianggap tidak akurat. Presiden Prancis, bagaimanapun, diizinkan untuk menanggapi artikel yang menyinggung tersebut dalam sebuah surat kepada surat kabar.

Situasi berbahaya itu membuat pembaca dibiarkan membaca kritik Macron terhadap artikel yang tidak lagi tersedia. Tapi Macron yang membungkam seorang penulis wanita Muslim tidak membantu untuk menjual pesan bahwa Prancis adalah aktor yang adil dalam hal menjunjung nilai-nilai seperti kebebasan berbicara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement