Desing peluru dan letusan senjata api kembali menyalak di wilayah perbatasan antara Maroko dan Sahara Barat. PBB melaporkan pertempuran berlangsung sepanjang malam, pada Selasa (17/11).
Misi perdamaian PBB, MINURSO, mengklaim “terus mendapat laporan bahwa tembakan dilepaskan dari berbagai lokasi sepanjang malam,” kata Jurubicara PBB Stephane Dujarric. “Kami mendesak kedua pihak mengambil langkah yang diperlukan untuk meredakan ketegangan.”
Front Polisario mengklaim serangan teranyar terhadap militer Maroko menimbulkan kerugian besar usai mereka membombardir pos militer di perbatasan. Namun kebenaran klaim tersebut tidak bisa dikonfirmasi.
Sejak 1970an Maroko bertempur dengan Front Polisario demi menguasai Sahara Barat yang dihuni etnis Sahrawi. Akhir pekan lalu, kelompok pimpinan Brahim Ghali itu secara resmi mengundurkan diri dari gencatan senjata yang berlangsung sejak 1991, menyusul operasi militer Maroko di perbatasan, Jumat (13/11).
Maroko sebaliknya menuduh Front Polisario bertanggungjawab atas eskalasi. “Adalah sebuah ancaman jika Anda mengirimkan warga sipil bersenjata ke zona penyangga, jika Anda mengecek kendaraan dan melarang truk melintas,” kata Hamdi Ould Rachid, Gubernur Laayoune-Sakia el-Hamra, satu dari dua provinsi bentukan Maroko di Sahara Barat
Eskalasi konflik di Guerguerat
Percik api awalnya merambat dari sebuah pos perbatasan desa Guerguerat, yang terletak di perbatasan. Pos tersebut melindungi jalur penghubung utama antara Maroko dan Mauritania, meski melintasi wilayah yang dikuasai Polisario.
Pekan lalu kelompok tersebut menggelar aksi demonstrasi “damai” menentang pembangunan pos perbatasan. Sebagai jawaban, militer Maroko melancarkan operasi keamanan pada Sabtu (14/11). Pemerintah di Rabat menuduh Polisario memblokir jalur dagang tersebut.
Buntutnya Front Polisario mendeklarasikan perang. Mohamed Salem Ould Salek, Menteri Luar Negeri Republik Demokrasi Arab Sahrawi, mengatakan gencatan senjata yang diawasi PBB “adalah masa lalu.” “Pertempuran terus berlanjut setelah tindak kriminal yang dilakukan pasukan Maroko di Guerguerat,” imbuhnya.
Sementara Menteri Pertahanan Sahrawi, Abdallah Lahbib, mengklaim “pasukan kami berhasil membukukan kemenangan penting dan menciptakan kerugian materil dan korban jiwa di pihak musuh.”
Namun begitu, pos perbatasan yang dipermasalahkan Polisario dikabarkan sudah kembali beroperasi pada Sabtu lalu, “belasan truk yang tidak bisa melintas selama tiga pekan karena tindakan milisi Polisario sudah melewati perbatasan Maroko dan Mauritania,” menurut laporan kantor berita pemerintah Maroko, MAP, yang mengutip kesaksian pejabat keamanan Mauritania.
Perang separatisme
Sahara Barat adalah panggung pertikaian pos-kolonialisme yang masih bertahan di utara Afrika. Ketika Spanyol mengakhiri kekuasaannya pada 1975, menyusul perang kemerdekaan melawan etnis Sahrawi, Maroko mengirimkan 20.000 tentara dan memicu perang yang berlangsung selama 16 tahun.
Etnis Sahrawi bertempur di bawah bendera Front Polisario yang didukung oleh jiran Maroko, yakni Aljazair dan Libya. Kedua negara, terutama Aljazair, secara rutin memasok senjata dan perlengkapan perang bagi Front Polisario.
Namun sejak gencatan senjata 1991, Maroko menguasai hampir 80% wilayah Sahara Barat, sementara sisa wilayah di sepanjang perbatasan dengan Aljazair dikuasai Republik Arab Sahrawi.
Eskalasi teranyar terjadi di Guerguerat yang terletak di perbatasan selatan. Di sini Maroko membangun jalur bebas hambatan menuju Mauritania sebagai koridor perdagangan. Namun keberadaan pos tersebut dinilai mencederai perjanjian gencatan senjata.
“Guerguerat adalah pemicunya. (Pos) itu adalah sebuah agresi,” kata Menlu Salem Ould Salek. “Pasukan Sahrawi hanya membela diri dan merespon pasukan Maroko yang berusaha menggeser tembok perbatasan yang menandai garis demarkasi,” di bawah perjanjian 1991.
“Perang sudah dimulai. Maroko sendiri yang melikuidasi gencatan senjata.”
rzn/hp(afp, rtr, dpa)