REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Johan Galtung dalam salah satu tulisannya menyebut agama Budha dan Hindu sebagai lembut (soft), sedang kelompok Kristen fundamentalis dan Islam yang dicitrakan oleh Wahabisme sebagai kelompok yang melihat dosa dan kejahatan ada di mana-mana kecuali di rumahnya sendiri.
Dalam sebuah wawancara BBC tidak lama setelah peristiwa Bali, seorang akademisi Australia percaya bahwa mayoritas Muslim Indonesia moderat dan toleran, dan hanya minoritas yang beraliran keras.
Tapi, sambungnya, jangan lupa bahwa minoritas atau satu persen saja di sebuah negara yang berpenduduk lebih dari dua ratus juta orang itu berarti ada jutaan yang radikal dan berpotensi untuk menjadi berbahaya.
Sulit untuk menghindar bahwa wajah Islam, terutama setelah peristiwa 11 September, menjadi sangat garang di mata non Muslim. Adakah wajah atau citra Islam yang demikian itu bersumber dari perilaku Muslim sendiri ataukah karena adanya kekuatan-kekuatan luar yang memojokkan Islam?
Nihad Awad, Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relations (CAIR) mengatakan bahwa kurangnya pengetahuan masyarakat Amerika tentang Islam yang benar dan sindrom Perang Salib yang masih tersisa sampai sekarang, telah menciptakan stereotipe negatif wajah Muslim di Barat.
"Selama 80 tahun," katanya, "Hollywood telah memproduksi ratusan film yang menggambarkan Muslim sebagai penjahat, dan hanya dua filem yang memberi gambaran positif ('Lion of the Desert' dan 'The Message', kedua-duanya diproduksi Muslim).
Dampak dari film-film Hollywood kepada siswa dan anak-anak yang di kemudian hari menjadi penentu kebijakan negaranya sangat besar sekali. Dampak itu bahkan terasa di kalangan Muslim sendiri yang kemudian menimbulkan krisis identitas".
Paul Findley dalam tulisannya di Washington Report tahun 1997, jauh sebelum peristiwa 11 September, umpamanya mengatakan, usai perang dingin, lobi Israel yang dikenal sangat kuat di Amerika lebih berhasil meyakinkan pemerintah Amerika bahwa "musuh bersama" mereka saat ini adalah dunia Islam.
Beberapa analis lain mengatakan bahwa dunia Islam sangat lemah dalam penguasaan media massa sehingga yang terjadi adalah distorsi berlebihan oleh media yang dikuasai Barat dan kekalahan total dalam "perang" informasi.
Semua analisis ini dan analisis lain yang menyalahkan pihak luar sangat mungkin mengandung kebenaran. Tetapi apakah dengan demikian Muslim bisa memperbaiki citranya dengan sekadar defensif, apologetik, reaktif, dan menyalahkan, atau mengecam pihak lain? Atau pasrah dan menerima peran sebagai pihak yang menjadi "korban"? Ataukah akan lebih efektif bila dunia Islam melihat ke dalam dan mencoba mengoreksi diri dari kekurangan-kekurangan yang ada?
*Naskah bagian dari artikel Abdillah Thoha yang tayang di Harian Republika 2003.