REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) kembali memberlakukan sanksi yang lebih luas terhadap Iran. Kali ini, AS memasukan daftar hitam yayasan yang dikendalikan oleh pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
AS membidik pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Iran selama satu tahun terakhir menyusul tindakan keras mematikan terhadap demonstran antipemerintah. Tidak hanya terhadap yayasan itu, sanksi yang diumumkan oleh Departemen Keuangan AS menargetkan menteri intelijen Iran.
Sanksi-sanksi terbaru ini merupakan tindakan terbaru pemerintahan Donald Trump untuk memperkuat tekanan maksimum terhadap Iran. Sanksi dikenakan hampir dua bulan sebelum Trump menyerahkan kekuasaan kepada Presiden terpilih Joe Biden.
Departemen Keuangan menjatuhkan sanksi kepada jaringan patronase utama untuk Khamenei. Pihaknya memasukan Bonyad Mistazafan atau Yayasan Kaum Tertindas yang dikendalikan oleh Khamenei. Sanksi juga menargetkan 10 individu dan 50 anak perusahaan yayasan di berbagai sektor termasuk energi, pertambangan, dan jasa keuangan.
Sanksi tersebut membekukan aset mereka di AS. Selain itu, sanksi juga melarang orang Amerika berbisnis dengan mereka. Siapapun yang melakukan transaksi tertentu dengan individu dan entitas ini berisiko terkena sanksi.
"Khamenei menggunakan kepemilikan yayasan untuk memperkaya kantornya, memberi penghargaan kepada sekutu politiknya , dan menganiaya rezim," kata Departemen Keuangan AS dalam sebuah pernyataan.
"AS akan terus menargetkan pejabat utama dan sumber penghasil pendapatan yang memungkinkan penindasan berkelanjutan rezim terhadap rakyatnya sendiri," ujar Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menambahkan.
Sementara Juru bicara misi Iran untuk PBB di New York, Alireza Miryousefi menyebut sanksi baru itu tanda putus asa pemerintahan Trump. "Upaya terbaru untuk melanjutkan kebijakan gagal 'tekanan maksimum' terhadap Iran dan warganya akan gagal, seperti semua upaya lainnya," kata Miryousefi.
Kepala yayasan yang masuk daftar hitam, Parviz Fattah, mengomentari sanksi terbaru AS melalui Twitter resminya. "Perjuangan pemerintah AS yang menurun tidak dapat memengaruhi aktivitas anti-sanksi yayasan dan produktivitasnya," ujarnya mencicit.
Fattah, yang termasuk di antara mereka yang masuk daftar hitam pada Rabu, menilai Trump sebagai orang yang pecundang.
Departemen Keuangan juga menjatuhkan sanksi kepada Menteri Intelijen Iran Mahmoud Alavi dan menuduh kementeriannya memainkan peran dalam pelanggaran hak asasi manusia yang serius terhadap warga Iran, termasuk selama protes tahun lalu.
Departemen Luar Negeri AS juga menuduh dua pejabat Korps Pengawal Revolusi Iran (IRGC) terlibat dalam pembunuhan hampir 150 orang di kota Mahshahr tahun lalu.
Reuters melaporkan tahun lalu bahwa sekitar 1.500 orang tewas selama kurang dari dua minggu menyusul kerusuhan yang dimulai pada 15 November 2019. Jumlah korban tersebut diberikan kepada Reuters oleh tiga pejabat Kementerian Dalam Negeri Iran.
Adapun ketegangan AS-Iran telah meningkat sejak Trump meninggalkan kesepakatan nuklir Iran 2015 dua tahun lalu yang dibuat oleh pendahulunya, Barack Obama. Trump juga mengubah sanksi ekonomi lebih keras e Iran.
Presiden terpilih Biden, yang akan menjabat pada 20 Januari, mengatakan dia akan mengembalikan Amerika Serikat ke kesepakatan nuklir, jika Iran melanjutkan kepatuhan.