REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Greenpeace International mendesak Forest Stewardship Council (FSC), organisasi pengelolaan hutan lestari, untuk membuka laporan investigasi pembukaan lahan konsesi sawit di Papua.
Hasil investigasi Greenpeace International dan Forensic Architecture, sebuah lembaga penelitian kolektif yang berbasis di Goldsmiths, London University mengungkap bahwa konglomerasi perkebunan Korea-Indonesia ini telah membabat 57 ribu hektar hutan untuk perkebunan sawit.
Video-video yang diambil oleh Greenpeace pada 2013 menunjukkan adanya kebakaran hutan di kawasan kelapa sawit Korindo di Papua, PT Dongin Prabhawa. Kemudian dari hasil analisis citra satelit oleh Forensic Architecture ditemukan bahwa terdapat pola pembakaran hutan yang sama hingga tahun 2016.
Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Kiki Taufik menjelaskan, panel investigasi FSC juga telah menemukan bahwa ada perusakan hutan di wilayah konsesi Korindo.
"Tapi hasil investigasi FSC tidak dibuka secara lengkap. Mereka sudah tiga kali investigasi, tapi tidak ada transparansi," ujar Kiki kepada Republika.co.id, Rabu (18/11).
Menurut Kiki, laporan FSC yang dipublikasikan telah diedit, sehingga tidak menunjukkan pelanggaran lingkungan dengan pembakaran hutan. Malah pihaknya mendengar Korindo akan memperkarakan FSC jika laporan tersebut dirilis secara lengkap.
Korindo mengklarifikasi dengan menyebutkan bahwa hasil investigasi FSC tidak menemukan adanya tuduhan pembakaran hutan.
Sementara Greenpeace menegaskan, video-video tersebut, yang letaknya persis di wilayah konsesi, seharusnya menjadi bukti tak terbantahkan untuk memperkarakan Korindo. Bahkan bukti-bukti tersebut sudah cukup untuk mencabut sertifikasi FSC dari Korindo.
"Jelas-jelas itu melanggar UU lingkungan hidup dan perkebunan, dan seharusnya ditindaklanjuti oleh pemerintah," kata Kiki.
Greenpeace International juga mendesak agar Pemerintah segera menindaklanjuti kasus pembakaran hutan ini. Menurut Kiki, Pemerintah sebelumnya mengatakan telah memberikan sanksi kepada Korindo. Namun, data yang ditemukan menyebutkan bahwa sanksi diberikan pada konsesi sawit di Kalimantan Tengah, bukan di Papua. Pemerintah dinilai tidak memberikan transparansi terhadap penyelidikan kasus ini.
Untuk itu, Greenpeace dengan sejumlah LSM dan aktivis lingkungan lainnya tengah mempertimbangkan untuk melaporkan hal ini ke kepolisian. Namun, Kiki mengaku pesimis bahwa laporan mereka akan ditanggapi serius oleh pihak kepolisian.
"Sebenarnya kalo Ditjen Gakkum KLHK (Direktorat Jenderal Penegakan Hukum) tidak melakukan sesuatu, seberapa besar kita mendapatkan reaksi atau perhatian dari kepolisian," kata Kiki.