REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Perbedaan agama di sekolah sekarang menjadi pembeda dalam pergaulan dan akses hak di lingkungan sekolah. Padahal, sekolah sejatinya diharapkan menjadi penanaman toleransi sejak dini yang diharapkan menjadi karakter anak kelak ketika dewasa.
Pengamat Pendidikan Nasional, Darmaningtyas mengatakan untuk memulai penanaman toleransi di lingkungan sekolah adalah melalui pendekatan sosial, seni dan budaya. Di mana sekolah-sekolah itu harus bisa mengembangkan seni dan budayanya masing-masing, terutama budaya lokal.
"Saya lebih memilih pendekatan itu karena biasanya orang yang memahami dan mengerti tentang budaya, itu sikap toleransinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak mengenal. Kalau pendekatannya itu melalui materi, katakanlah misalnya materi P-4, materi Pancasila, itu saya kira agak sulit untuk bisa diterapkan. Karena itu berarti harus melawan arus dengan narasi yang sudah dibangun oleh ideolognya," ujar Darmaningtyas di Yogyakarta, Kamis (19/11).
Karena menurut Alumni Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta itu penanaman toleransi melalui pendekatan sosial, seni dan budaya bisa jauh lebih cair. Oleh karena itu ia menyarankan sebaiknya pemerintah itu menggalakkan kegiatan-kegiatan seni budaya di masing-masing wilayah itu. Seperti kalau di Yogyakarta hampir setiap sekolah ada gamelan. Yang mana gamelan itu jangan hanya sekedar dimiliki, tetapi itu harus menjadi instrumen untuk pendidikan karakternya.
"Oleh kerena itu semestinya jam pelajaran seni dan budaya itu ditambah, bukan malah dikurangi. Sekarang ini kan yang ditambah itu malah pelajaran agama, sementara yang dikurangi justru malah pelajaran seni dan budayanya. Saya ang perlu dilakukan kalau mau agak sistematik dan jangka panjang untuk menangkal intoleranssi di lingkungan sekolah yaitu mealui penanaman sosial, seni dan budaya itu tadi," ujarnya.
Lebih lanjut, pria kelahiran Gunungkidul, 9 September 1962 itu menyampaikan kalau metode yang digunakan seperti Penataran P-4 menurutnya tidak akan signifikan. Apalagi ia menyampaikan bahwa Rohis (Rohani Islam) di sekolah itu sudah menjadi kekuatan tersendiri itu. Padahal pembinaan pendidikan agama Islam itu lebih baik dilakukan oleh guru agama, bukan malah dilakukan oleh seniornya atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah tersebut.
”Kalau misalkan untuk mengurangi kebosanan karena pelajaran agama juga ketemu guru agama maka bisa mendatangkan ustaz-ustaz yang paham kebangsaannya yang tinggi. Dan jangan diserahkan kepada mahasiswa atau seniornnya," jelas Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) Yogyakarta itu.