REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Indonesia selama ini dikenal sebagai pemilik satu dari dua hutan hujan tropis terbesar di dunia. Akan tetapi keadaan hutan di Indonesia, yang menjadi asal-muasal lahirnya istilah 'paru-paru dunia' tersebut sedang tidak baik-baik saja.
Sumber daya hutan Indonesia sedang mengalami kondisi yang kritis. Penggundulan hutan merajalela dan alih fungsi lahan yang semarak diizinkan pemerintah kita dengan dalih peningkatkan ekonomi nasional.
Jika ditilik dari kacamata ekonomi dan bisnis, tentunya tindakan dan kebijakan tersebut secara otomatis akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun, hasil yang berbeda dipastikan muncul jika dikaji dari dimensi sosial kemasyarakatan.
"Hal ini perlu mendapat perhatian lebih dari umat Islam. Hal ini karena menyangkut upaya vital menjaga kelangsungan planet dan penduduknya, baik untuk kehidupan yang tengah berlangsung maupun untuk generasi mendatang," kata Inisiator Hutan Wakaf Aceh, Azhar, saat menjadi pemateri dalam Kuliah Online Waqf Center for Indonesian Development & Studies (WaCIDS) akhir pekan lalu.
Azhar mengungkapkan, solusi dan jalan tengah terbaik menjadi pekerjaan rumah kita bersama. "Penggundulan dan alih fungsi lahan hutan yang terlanjur telah dilakukan harus mendapatkan penggantinya, atau jika tidak, memperbaiki lahan kritis tersebut menjadi kewajiban," katanya.
Ia menuturkan, salah satu langkah yang telah dilakukan dalam misi pengembalikan hutan seperti sedia kala telah dilakukan oleh Komunitas Hutan Wakaf Aceh. Ia pun menjelaskan bagaimana desain besar dari hutan wakaf tersebut.
"Pertama, Komunitas Hutan Wakaf akan melakukan transaksi pembelian atas lahan kritis yang kemudian akan ditanami dengan berbagai jenis tanaman yang berpotensi menjadi pakan hewan primata dan burung-burung. Kedua, jika hutan wakaf tesebut telah dirasa siap menjadi tempat tinggal para hewan, maka akan dilakukan rescue hewan-hewan yang akan mendiami hutan tersebut," tuturnya.
Salah satu keunikan dari gagasan hutan wakaf ini ialah konsep ini dielaborasikan dengan pendanaan yang menggunakan salah satu instrumen keuangan Islam yakni wakaf melalui uang.
"Komunitas Hutan Wakaf akan menghimpun dana wakaf dari masyarakat, dan selanjutnya memanfaatkan dana tersebut untuk mengimplementasikan gagasan hutan wakaf. Lebih lanjut, hasil manfaat yang di dapat dari hutan wakaf tersebut selanjutnya akan di manfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar," katanya.
Azhar juga mengulas bagaimana hasil operasional hutan wakaf ini berjalan sejak diimplementasikan mulai tahun 2012 sampai dengan sekarang. Ia menuturkan, Komunitas Hutan Wakaf telah berhasil membangun hutan wakaf seluas 4,7 hektare yang berada di daerah Gampong Data Cut dan Jantho Lama, dan juga akan dikembangkan satu hektare lagi.
Dari data tersebut, Azhar mengatakan pengembangan hutan wakaf memang tergolong masih kecil. "Kita akui kampanye dan perkembangan hutan wakaf kita agak lambat. Tidak ada target, (namun) pelan-pelan tapi pasti," ujar Azhar.
Azhar menyatakan dibutuhkan beberapa upaya dari berbagai pihak guna menyukseskan gerakan hutan wakaf tersebut seperti kolaborasi antar-instansi kepemerintahan guna menyusun peraturan perwakafan tentang lingkungan hidup, peran aktif masyarakat dalam mewakafkan sebagian hartanya, pembekalan kepada para nazhir seputar wakaf pada lingkungan hidup, dan kontribusi ulama dalam mendakwahkan konsep hutan wakaf, serta sumbangsih riset dan keilmuan kaum akademisi tentang hutan wakaf.