REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pada masa pemerintahan Sukarno, Indonesia sempat menjadi sorotan dunia karena menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang pertama di Bandung pada 1955. Dalam perhelatan ini, Sukarno menegaskan keberpihak annya pada bangsa Palestina dengan cara tidak mengundang Israel.
M Muttaqien dalam artikelnya untuk jurnal Global and Strategies(2013), mengatakan Sang proklamator RI itu menilai rezim zionis tersebut merupakan bagian dari kolonialisme atas bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Menurut Muttaqien, politik luar negeri Sukarno seputar isu-isu Asia Barat berpihak pada Pan-Arabisme yang dipunggawai sahabatnya dalam Kubu Non- Blok, Gamal Abdel Nasser.
Dengan gerakan tersebut, ada harapan bahwa bangsa Arab bersatu untuk mengusir kolonialisme Eropa dari Asia Barat dan Afrika Utara. Sukarno memandang pembentukan Israel tidak lain sebagai satu hasil nyata penjajahan Eropa yang masih bercokol di Asia pasca-Perang Dunia II. Alasannya, entitas Yahudi itu eksis dengan jalan mencaplok tanah milik bangsa Palestina.
Solidaritas Indonesia terhadap Palestina dan negara-negara Arab pada umumnya juga terjadi ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games pada September 1962. Indonesia tidak memberikan visa kepada para atlet Israel. Presiden Sukarno tetap konsisten dengan kebijakan ini, meskipun dengan konsekuensi bahwa Komite Olimpiade Internasional (KOI)tidak mengizinkan Indonesia mengikuti gelaran Olimpiade mendatang.
Penyambung lidah rakyat itu juga menolak imbauan KOI agar Indonesia meminta maaf lantaran dituding mela kukan diskriminasi politis. Alih-alih menggadaikan sikap anti-penjajahan, Sukarno justru terbilang sukses dengan menggelar ajang tandingan Olimpiade, yakni GANEFO, pada akhir 1962.