REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dinilai berupaya mendikte prinsip-prinsip Islam. Hal itu setelah Macron mengeluarkan ultimatum kepada para pemimpin Muslim di Prancis untuk menerima piagam 'nilai-nilai Prancis' dalam waktu 15 hari.
CAIR menyebut piagam tersebut secara keliru menyatakan Islam adalah agama apolitis. Macron memberi waktu dua pekan kepada Dewan Kepercayaan Muslim Prancis (CFCM) untuk menerima piagam 'nilai-nilai republik'. Piagam itu harus menyertakan pernyataan Islam di Prancis adalah agama yang tidak ada hubungannya dengan politik.
CAIR merupakan organisasi advokasi dan hak sipil Muslim terbesar di AS. CAIR dan organisasi serta institusi Muslim Amerika lainnya secara aktif terlibat dalam mempromosikan keterlibatan sipil dan partisipasi politik Muslim.
Dalam sebuah pernyataan, Direktur Eksekutif Nasional CAIR Nihad Awad mengatakan pemerintah Prancis tidak memiliki hak memberitahu Muslim atau agama minoritas lainnya bagaimana menafsirkan keyakinan mereka sendiri.
"Presiden Macron harus membalikkan arah sebelum bangsanya kembali ke rasialisme kolonial dan kefanatikan agama yang menghantui begitu banyak negara Eropa selama berabad-abad. Presiden Macron mengubah liberte, egalite, fraternite menjadi represi, ketidaksetaraan, dan perpecahan," kata Awad, dilansir di laman resmi CAIR, Jumat (20/11).
Ia mengatakan, meskipun Prancis mengklaim menjunjung tinggi kebebasan beragama, kenyataannya adalah Muslim Prancis tidak memiliki perlindungan Amandemen Pertama yang dinikmati oleh orang-orang beragama di Amerika. Oleh karena itu, menurutnya, CAIR merasa berkewajiban berbicara membela hak dan kebebasan beragama mereka.
Awad mencatat CAIR baru-baru ini mengeluarkan peringatan perjalanan yang memperingatkan Muslim Amerika agar tidak bepergian ke Prancis di tengah kampanye fanatisme Islamofobik pemerintah Prancis yang disebutnya "munafik dan berbahaya". Kampanye ini disebut menargetkan Muslim Prancis, masjid, dan organisasi Islam.
Pada Oktober lalu, organisasi hak-hak sipil yang berbasis di Washington DC ini juga meminta Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIFR) untuk menyelidiki kampanye hukuman kolektif Prancis yang sedang berlangsung terhadap komunitas Muslim Prancis. Selain itu, sejarah panjang Prancis yang mengubah fanatisme anti-agama menjadi kebijakan pemerintah.
Selama 20 tahun terakhir, Prancis telah menerapkan banyak undang-undang yang dirancang untuk membatasi dan menekan keras kebebasan beragama, terutama di kalangan Muslim. Prancis telah melarang siswa, guru, dan pegawai negeri mengenakan simbol-simbol agama mereka yang terlihat, termasuk jilbab, di sekolah atau di tempat kerja.
Hukum Prancis juga melarang orang mengenakan cadar di depan umum, sekaligus mewajibkan mereka untuk memakai masker wajah medis. Wanita Muslim di beberapa wilayah Prancis juga telah didenda oleh polisi karena mengenakan pakaian renang tertutup yang menutupi seluruh bagian tubuh.
Macron pernah menyampaikan pidato tentang komunitas Muslim Prancis, di mana dia mengklaim bahwa Islam adalah agama yang berada dalam krisis di seluruh dunia saat ini. Macron juga telah menyatakan kekhawatirannya tentang 'separatisme Islam' dan menyerukan untuk 'melepaskan' Islam.