REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Ketegasan sikap RI berlanjut di zaman pemerintahan Suharto.
Dalam masa Orde Baru, Indonesia tetap mendukung perjuangan bangsa Palestina sekaligus mengecam Israel sebagai entitas penjajah. Namun, sedikit berbeda dengan rezim Sukarno, penguasa Orde Baru tidak langsung berkonfrontasi dengan Israel.
Menurut M Muttaqien dalam artikelnya untuk jurnal Global and Strategies(2013), Presiden Soeharto lebih menyukai upaya-upaya mediasi untuk menyudahi konflik Palestina-Israel. Di samping itu, Orde Baru diketahui lebih berpihak pada Barat, utamanya dalam soal ekonomi dan politik keamanan.
Karena itu, misalnya, ketika negara- negara Arab melakukan embargo minyak kepada Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Indonesia tidak dalam posisi mendukung langkah ini. Sebab, pada 1970-an ekonomi Indonesia masih bertumpu pada sektor migas yang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing asal Barat.
Sebagai bukti pragmatisme Orde Baru, Muttaqien mengutip fakta ketika OPEC menyepakati kenaikan harga minyak ekspor hingga 10 persen pada Oktober 1975. Sebagai anggota OPEC, Indonesia saat itu hanya menaikkan harga komoditas tersebut 1,6 persen, meskipun kemudian sempat menjadi 10 persen setelah Konferensi OPEC di Doha, Qatar, pada Desember 1976.
Di zaman Orde Baru pula, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) terbentuk pada 1967. Namun, menurut Muttaqien, Presiden Soeharto terbilang telat untuk mengizinkan pendirian kantor perwakilan PLO di Jakarta.
Menlu RI saat itu, Adam Malik, baru memberikan izin demikian pada 1974. Itu setelah pertemuan puncak Liga Arab berlangsung di Rabat, Maroko, yang salah satu hasilnya mengakui PLO sebagai satu- satunya organisasi yang merepresentasikan rakyat Palestina.
Di saat yang bersamaan, PBB juga mengakui kepemimpinan Yasser Arafat atas PLO. Pemimpin besar Palestina itu pada 1993 mengunjungi Jakarta dan disambut baik Presiden Soeharto.