Jumat 20 Nov 2020 16:31 WIB

Izin Tiga Pihak Sebelum Sekolah Boleh Kembali Dibuka

Bila orang tua tidak izinkan anak kembali sekolah, anak tetap harus difasilitasi.

Sejumlah siswa mengikuti pelajaran tatap muka di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al Mujahidin Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Pemerintah pusat memberikan kewenangan ke pemerintah daerah untuk menentukan pembukaan kembali sekolah. Pelajaran tatak muka diizinkan setelah melalui persetujuan tiga pihak mulai Januari 2021.
Foto: Antara/Adiwinata Solihin
Sejumlah siswa mengikuti pelajaran tatap muka di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al Mujahidin Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Pemerintah pusat memberikan kewenangan ke pemerintah daerah untuk menentukan pembukaan kembali sekolah. Pelajaran tatak muka diizinkan setelah melalui persetujuan tiga pihak mulai Januari 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Meiliza Laveda, Antara

Setelah delapan bulan anak-anak Indonesia melakukan pendidikan secara jarak jauh dari rumah, pemerintah merancang kebijakan baru. Mulai tahun depan, sekolah diperbolehkan dibuka kembali tanpa memperhatikan faktor zonasi Covid-19.

Baca Juga

Pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan membuka sekolah tatap muka. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan, mulai Januari 2021 ada tiga pihak yang menentukan pembukaan sekolah.

Penentu pertama pembelajaran tatap muka adalah pemerintah daerah atau kantor wilayah. Selain itu, kepala sekolah juga harus menyetujui sekolahnya dilakukan pembelajaran tatap muka. Selanjutnya, perwakilan orang tua melalui komite sekolah juga harus menyetujui kebijakan tersebut.

"Jadi, kalau tiga pihak ini tidak mengizinkan sekolah dibuka, sekolah itu tidak diperkenankan untuk dibuka. Tapi, kalau ketiga pihak setuju sekolah itu boleh melaksanakan tatap muka," kata Nadiem, dalam pengumuman SKB 4 Menteri, Jumat (20/11).

Apabila ketiga pihak tersebut memutuskan pembelajaran tatap muka dilakukan, Nadiem mengatakan keputusan akhir ada pada orang tua siswa. Jika orang tua siswa tidak memperkenankan anaknya untuk melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah, maka hal ini diperbolehkan dan harus difasilitasi.

"Harus saya tekankan, pembelajaran tatap muka ini diperbolehkan. Tidak diwajibkan, dan keputusan itu ada di pemerintah daerah, kepala sekolah, dan orang tua komite," kata dia menambahkan.

Peta zonasi risiko dari Satgas Penanganan Covid-19 tidak lagi menjadi penentu izin tatap muka di sekolah. Hal ini diharapkan, daerah bisa lebih leluasa dalam memutuskan sekolah yang boleh dilakukan tatap muka atau yang masih perlu dilakukan pembelajaran jarak jauh.

Pembelajaran tatap muka ini pun, lanjut Nadiem, tidak harus dilakukan serentak seluruh sekolah di daerah. Pembukaan sekolah di tiap daerah bisa dilakukan secara bertahap, sesuai kesiapan masing-masing satuan pendidikan.

Nadiem menambahkan, dalam pembelajaran tatap muka di sekolah, daerah harus memperhatikan tingkat risiko penyebaran Covid-19. Selain itu, kesiapan satuan pendidikan dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka harus dijamin. Pemerintah daerah dan sekolah, juga harus memperhatikan kesiapan akses terhadap sumber belajar masing-masing siswa.

"Banyak teman-teman di daerah kita sangat sulit melakukan PJJ, jadi itu mohon jadi konsiderasi," kata Nadiem.

Penentuan pembukaan sekolah untuk semester genap Tahun Ajaran 2020/2021 akan difokuskan kepada kesiapan sekolah di daerah. Kebijakan ini tercantum dalam SKB 4 Menteri Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19.

Nadiem menjelaskan, pemerintah pusat banyak menerima masukan dari pemerintah daerah terkait pembukaan sekolah. Pemerintah daerah menilai, meskipun zona ditentukan per kabupaten/kota, ada kecamatan atau desa yang relatif aman dari Covid-19.

"Menurut evaluasi mereka kecamatan dan desa-desa tersebut relatif aman dan sulit melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Jadi, pemerintah daerah ini pihak yang paling mengetahui kondisi dan kebutuhan dan keamanan situasi Covid-19 di daerahnya sendiri," kata Nadiem.

Ia mengatakan, kondisi dan kebutuhan dari setiap kecamatan, desa, atau kelurahan sangat bervariasi. Ada daerah yang di kota kasus infeksi Covid-19 cukup berat, namun desa-desa yang terpencil di sekitarnya tidak terdampak virus corona.

Ia mengungkap alasan kebijakan pembelajaran harus berfokus pada daerah, meskipun zona per kabupaten, namun ada kecamatan, desa, yang menurut evaluasi pemda aman dan desa tersebut sangat sulit melakukan pembelajaran jarak jauh. “Pemerintah daerah merupakan pihak yang paling mengetahui dan memahami kondisi, kebutuhan dan kapasitas daerahnya,” ujar dia.

Kondisi, kebutuhan dan kapasitas kecamatan, kelurahan pada satu kabupaten/kota yang sama dapat sangat bervariatif antara satu dan lainnya. Menurut Mendikbud, pengambilan kebijakan pada sektor pendidikan di daerah harus melalui pertimbangan yang holistik dan selaras dengan pengambilan kebijakan pada sektor lain di daerah.

Nadiem menjelaskan keputusan itu diambil karena semakin lama pembelajaran tatap muka tidak terjadi, maka semakin besar dampak negatif yang terjadi pada anak. Mulai dari ancama putus sekolah karena anak harus bekerja dan persepsi orang tua yang tidak melihat peranan sekolah dalam proses belajar-mengajar.

Kemudian, menurut dia, kendala tumbuh kembang anak juga mengalami gangguan. Yakni kesenjangan capaian belajar, ketidakoptimalan pertumbuhan dan risiko kehilangan pembelajaran.

Selanjutnya, kata Nadiem, adalah tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga, mulai dari anak yang stres dan kekerasan yang tidak terdeteksi. “Ini memiliki dampak permanen pada psikososial anak, tidak ada pembelajaran tanpa rasa aman dan harmonis psikologis anak-anak kita. Tentunya peningkatan insiden kekerasan yang terjadi di rumah tangga meningkat, dan ini menjadi pertimbangan kamiterpenting,” kata dia.

Kebijakan pembukaan kembali sekolah dilakukan mulai Januari 2021. Pemerintah daerah diperbolehkan memulai pembelajaran tatap muka di sekolah, namun dengan memenuhi daftar kesiapan protokol kesehatan di tiap satuan pendidikan yang sudah ditentukan.

Seiring dengan rencana pembukaan kembali sekolah, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan akan meningkatkan pengawasan dan pembinaan terhadap protokol kesehatan. "Kementerian Kesehatan sepenuhnya akan mendukung kebijakan ini. Kami berkomitmen untuk meningkatkkan peran puskesmas, melakukan pengawasan dan pembinaan pada satuan pendidikan dalam penerapan protokol kesehatan," kata Terawan.

Ia menegaskan akan memperkuat peran puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar terkait kesiapannya dalam pencegahan serta pengendalian Covid-19. Terawan mengatakan sistem pembelajaran jarak jauh yang telah dilakukan selama satu tahun ini di masa pandemi Covid-19 di Indonesia telah menyebabkan berbagai permasalahan pada siswa, baik dari sisi pendidikan, kehidupan sosial, maupun kesehatan mental.

"Ternyata banyak hal yang bisa dinilai ada berbagai kendala, seperti ada ancaman anak putus sekolah, meningkatnya risiko stres pada anak, terjadinya kekerasan pada anak, kesenjangan capaian belajar dan learning loss yang berpengaruh pada perkembangan anak," kata Menkes.

Berdasarkan catatan proporsi dari anak-anak Indonesia yang terjangkit Covid-19 sekitar 11.3 persen. Ini berarti satu dari sembilan orang yang terinfeksi adalah anak. Hal ini cukup mengkhawatirkan.

Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Yogi Prawira, mengungkapkan sebagian besar anak-anak terinfeksi dengan gejala ringan atau tanpa gejala, yaitu 85 persen. Namun, ada sekitar dua persen yang mengalami kondisi kritis dan dirawat di ICU.

“Perlu diketahui ICU anak sebelum pandemi kurang, apalagi sekarang ICU khusus Covid-19,” kata Yogi dalam acara virtual Hari Anak Sedunia, Jumat (20/11).

Penelitian mengungkapkan anak-anak bisa menularkan Covid-19. Misal, dalam satu rumah di Indonesia memiliki beragam kelompok usia. Dalam satu rumah tersebut ada mereka yang lebih berisiko terpapar virus.

“Nah dari situ kita ajarkan kepada anak-anak, kamu bisa lho menjadi pahlawan, melindungi kakek nenek, kalau keluar rumah pakai protokol kesehatan,” ujar dia.

Yogi menjelaskan, dari mayoritas anak-anak yang dirawat, jika ditelusuri, kasus penyebarannya berasal dari tempat tinggal mereka. Jadi, orang dewasa yang harus bekerja di luar selalu menerapkan prosedur kesehatan. Ini bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan orang lain.

Dalam situasi ini, orang tua berperan penting dalam melindungi anak. Anak-anak harus perlu diajarkan pentingnya menerapkan 3M. Pertama, ajari gunakan masker dengan benar, yakni menutup hidung dan mulut. Tidak boleh menyentuh sisi luar masker karena itu sisi kotor. Kemudian ajarin mencuci tangan rutin dan selama 20 detik.

“Kalau berhitung bosan ya, coba sambil nyanyi, cuci tangan dengan enam langkah. Mereka jadi dapat lebih mengingat,” kata dia.

Terakhir, ajarkan untuk menjaga jarak satu meter. Di dalam rumah pun, kamar sebaiknya dibuka jendelanya agar adanya pertukaran udaranya.

Psikolog Anak, Seto Mulyadi atau Kak Seto mengatakan cara mengedukasi anak-anak mengenali virus Covid-19 harus dengan cara yang kreatif. Sebab, dunia anak adalah bermain, dongeng, gembira, dan nyanyi. Ciptakan lagu atau kalau perlu jika mendongeng menggunakan alat praga, misalnya boneka. Buat suasana penuh persahabatan.

“Jangan melihat anak sebagai bawahan, tapi melihatnya sebagai teman atau sahabat. Ajari pelan-pelan dan dengan cara yang kreatif. Misalnya tadi, cuci tangan sambil nyanyi. Buatlah suasana nyaman, ciptakan rumahku istanaku agar anak-anak nyaman di rumah,” ujar Kak Seto.

photo
Ventilasi Durasi Jarak - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement