REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta bank untuk tidak lengah meski otoritas telah mengeluarkan kebijakan perpanjangan Peraturan OJK (POJK) No.11/POJK.03/2020 terkait relaksasi restrukturisasi kredit yang harusnya berakhir pada 31 Maret 2021 menjadi 31 Maret 2022. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan,dengan begitu banyaknya nasabah yang memanfaatkan restrukturisasi, OJK juga melihat berbagai macam tantangan.
"Bahwa potensi penurunan kualitas kredit yang kita sebut dengan loan at risk ini juga harus diperhatikan, karena memang loan at risk ini dalam POJK kita kan kita tidak hitung sebagai bagian dari penilaian tingkat kesehatan karena restrukturisasi. Tapi meski demikian, perbankan juga kita minta untuk tidak lengah bahwa loan at risk kita tentunya kalau kita hitung tanpa restrukturisasi tentu akan meningkat dengan sangat cepat," ujarnya, Jumat (20/11).
Selain itu, dia juga mengingatkan terkait potensi meningkatnya beban Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) perbankan apabila POJK 11 tidak diperpanjang dan pandemi Covid-19 masih terus berlanjut.
"Bagi bank-bank yang masih mencatatkan laba, walaupun di dalam restrukturisasi diperbolehkan untuk tidak membentuk cadangan, saya sebagai regulator menganggap penting ya untuk mengingatkan bahwa tolong dibentuk pelan-pelan supaya nanti pas POJK perpanjangannya juga berakhir , kalau nanti bank menghadapi nasabah yang tidak berhasil direstrukturisasi, kita sudah punya bantalan CKPN yang cukup baik untuk menghadapi berbagai tantangan-tantangan ke depan," ujar Heru.
Dengan turunnya kualitas kredit dan biaya CKPN yang meningkat tadi, lanjutnya, akan berdampak pada peningkatan tingkat kredit bermasalah atau Non Perfoming Loan (NPL).
"Restrukturisasi ini tentunya nanti akan meningkatkan NPL kalau restrukturisasinya tidak berhasil. Kalau restrukturisasinya berhasil, NPL kita juga pasti akan tertekan ke bawah. Kalau NPL meningkat, pasti bantalan modal kita juga akan turun. Jadi berbagai hal tadi ini, potensi kenaikan NPL dan juga CKPN yang perlu mulai dibentuk dari sekarang , kalau tidak tentunya akan berdampak pada permodalan dan akhirnya solvabilitas dan permodalan kita akan mengalami dampak dan ini tidak kita harapkan ke depan," kata Heru.
Heru menuturkan, perpanjangan POJK merupakan langkah antisipatif untuk membantu debitur terdampak Covid-19 yang masih memiliki prospek usaha namun memerlukan waktu lebih panjang untuk bisa kembali normal. Langkah itu juga untuk membantu perbankan dalam menata kinerja keuangannya terutama dari sisi mitigasi risiko kredit.
Meski banyak diapresiasi sebagai kebijakan perintis yang mampu meredam dampak Covid-19 dan menjaga stablitas sektor jasa keuangan dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami tekanan, lanjut Heru, bagaimanapun kebijakan restrukturisasi kredit tersebut tetaplah menimbulkan dilema.
"Seberapa besar kemampuan bank dalam menyerap risiko kredit, dalam membentuk tambahan CKPN kalau memang pandemi ini belum segera berakhir. Kemudian pertanyaan lanjutan yang tidak kalah penting, seberapa kuat likuidtas dan modal bank dalam menyangga penurunan kinerja debitur tersebut. Beberapa pertanyaan ini mulai sekarang mungkin bisa kita address bersama untuk supaya kita tidak kaget nanti, pada saat restrukturisasinya akan berakhir pada waktunya," ujarnya.
Berdasarkan data OJK, realisasi restrukturisasi kredit oleh 100 bank per 26 Oktober 2020, total mencapai Rp 932,6 triliun dari 7,53 juta debitur. Sebanyak 5,84 juta debitur di antaranya merupakan UMKM dengan nilai restrukturisasi mencapai Rp 369,8 triliun.