Jumat 20 Nov 2020 22:41 WIB

Singapura Tuntut Pengunjuk Rasa Meski Aksi Seorang Diri

Jolovan Wham dituding Singapura menggelar aksi protes tanpa izin

Red: Nur Aini
Bendera Singapura
Foto: IST
Bendera Singapura

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Otoritas penegak hukum di Singapura berencana menuntut Jolovan Wham, 40 tahun, karena ia dianggap telah menggelar aksi protes tanpa izin, meskipun seorang diri.

Wham membela diri dengan mengatakan bahwa ia hanya berdiri depan kantor kepolisian sambil membawa spanduk bergambar sebuah wajah yang tersenyum pahit. Kepolisian, Kamis (19/11), memberi tahu Wham bahwa ia akan dipanggil ke pengadilan untuk menjalani sidang penuntutan pada Senin (23/11).

Baca Juga

Wham, aktivis hak-hak sipil di Singapura, kerap bersinggungan dengan aparat di negara itu, yang mengontrol ketat perkumpulan masyarakat dan kebebasan berpendapat, sertapemberitaan di media. Tuntutan itu terkait dengan insiden pada Maret 2020, saat ia berdiri di depan kantor kepolisian sambil memegang poster aksi dan berfoto.

Aksinya itu merupakan bentuk dukungan terhadap seorang aktivis lingkungan muda yang diinterogasi oleh polisi karena berunjuk rasa beberapa hari sebelumnya. Usai menggelar aksi protes singkat seorang diri, Wham mengunggah foto dirinya sambil memegang poster bergambar simbol orang tersenyum, di media sosial.

Menurut surat keterangan yang diunggah Wham di Twitter, ia dituntut melanggar Undang-Undang Ketertiban Umum, yang mengatur perkumpulan masyarakat dan kegiatan di tempat-tempat umum. Wham pada tahun ini telah menjalani dua hukuman kurungan singkat di penjara. Namun, untuk kasus terbarunya, ia terancam kena hukuman denda sebesar 5.000 dolar Singapura (sekitar Rp 52,87 juta).

Kepolisian Singapura membenarkan bahwa Wham telah diberi tahu soal tuntutan tersebut, tetapi pihak kepolisian tidak bersedia memberi keterangan lebih lanjut.

"Tuntutan terhadap saya hanya memperlihatkan betapa absurd situasi yang akan terjadi kemudian," kata Wham saat dihubungi via pesan singkat. Kepada majelis hakim, ia berencana menyatakan dirinya tidak bersalah.

"(Mereka) menyebut yang saya lakukan adalah perkumpulan, itu merupakan penghinaan terhadap Bahasa Inggris. Bagaimana satu orang yang berdiri di ruang publik dalam waktu beberapa detik untuk foto dianggap mengancam ketertiban umum?" tanya dia.

Peneliti Amnesty International wilayah Asia Selatan, Rachel Chhoa-Howard, mengatakan insiden itu merupakan contoh lain pemidanaan aksi damai di Singapura.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement