Ahad 22 Nov 2020 00:10 WIB

Memori Tjipto, Pesjati, dan Wabah Pes 

Kota Malang, salah satu daerah yang pernah dilanda wabah pes mulai 1910 silam.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Sekelompok perempuan di Malang yang telah divaksin dalam pemberantasan pes, 1915.
Foto: Dok. Neville Keasberry/koleksi Kern, Museum V
Sekelompok perempuan di Malang yang telah divaksin dalam pemberantasan pes, 1915.

REPUBLIKA.CO.ID, Ada sejumlah peristiwa yang perlu diabadikan ingatannya oleh masyarakat untuk menjadi bahan pembelajaran. Tak hanya peristiwa perang, memori wabah yang pernah melanda suatu daerah juga perlu diketahui generasi masa depan.

Kota Malang, salah satu daerah yang pernah dilanda wabah pes mulai 1910 silam. Wabah ini bermula dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk mengimpor beras dari Myanmar. Tanpa disangka, langkah ini ternyata menyebabkan puluhan ribu warga di Malang meninggal selama beberapa tahun. 

Tercatat, pes telah menjangkiti 2.300 orang pada 1911 di Malang. Dari jumlah tersebut, 2.100  di antaranya dinyatakan meninggal. "Dan pemerintah kolonial waktu itu mengurangi angka kematian, kenapa? Bagi pejabat itu aib, nggak mau dinilai gagal, walau faktanya memang gagal," ucap Peneliti Sejarah dari Pusat Studi Budaya dan Laman Batas, Universitas Brawijaya (UB), Kota Malang, FX Domini BB Hera

Pria disapa Sisco ini menjelaskan, dokter Belanda kala itu sangat sedikit yang mau dikirim ke medan wabah pes. Pertama, mereka rasis terhadap kalangan non- Eropa dan menilai pribumi sebagai sumber penyakit. Di mata mereka, pribumi itu kotor, banyak sarang tikus sehingga para dokter Belanda menolak dikirimkan ke lokasi kejadian.

Fakta lain, penolakan dokter Belanda sebenarnya dilatarbelakangi memori suram di Eropa. Sejumlah negara di benua tersebut pernah dilanda pes dengan kasus terbesar sekitar abad 14 dan 17. Oleh sebab itu, banyak negara Eropa yang mendirikan monumen pes sebagai pengingat dan pembelajaran. 

Di Austria misalnya, terdapat monumen pengingat pes bernama Pestsäule. Tiang yang didirikan raja setempat ini terletak di Jalan Graben, Wina. Keberadaan monumen ini menjadi pengingat untuk warga setempat atas wabah pes.

"Monumen menjadi desain memori, mereka mengheningkan cipta, berdoa bawa bunga di monumen. Nah, di Malang belum ada untuk menandai pernah terjadi wabah dahsyat, pes," katanya.

photo
Potret resmi Dokter Tjipto Mangunkusumo sebagai dokter pemberantas pes di Malang, 1911 - (Koleksi Perpustakan Nasional Republik Indon)

Memberantas pes secara sukarela

Di dalam proses pengentasan wabah, muncul tokoh nasional bernama Dokter Tjipto Mangunkusumo. Dia adalah sosok pemberani dan secara sukarela mau turun memberantas pes meski Tanpa Alat Pelindung Diri (APD).

Ketika berada di Malang, Tjipto tercatat mengalami pengalaman dramatis saat memberantas wabah pes. Ia berhasil menyelamatkan seorang bayi perempuan yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Orang tua dari bayi yang kelak bernama Pesjati ini meninggal akibat wabah pes.

"Jadi mengatakan, banyak kampung dimusnahkan karena nggak tertolong, dan termasuk salah satu kampungnya Pesjati. Dalam suasana pembakaran rumah itu terdengar suara tangisnya bayi.  Dokter Tjipto cepat-cepat mencari dan masuk ke rumah lalu menemukan bayi yang sudah menangis tetapi kanan kiri orang tuanya sudah meninggal. Dan Tjipto menyelamatkan bayi itu lalu mengangkatnya menjadi anak dan diberi nama Pesjati," ucap alumnus Universitas Negeri Malang (UM) ini.

Peristiwa penyelamatan bayi oleh Tjipto menjadi refleksi tersendiri bagi keturunan Pesjati. Cucu Pesjati, Hanifditya mengatakan, pertemuan Tjipto dan Pesjati menjadi momentum kehidupan untuk keturunan selanjutnya. Jika Pesjati tidak ditemukan oleh Tjipto, maka dia dan keluarga besar tidak akan lahir ke dunia. Pesjati hanya menjadi angka statistik kematian yang namanya pun tidak tertulis di dalam sejarah. 

Pesjati, kata Hanif, dianugerahi usia cukup panjang sampai 95 tahun. Almarhumah telah mengalami dan menyaksikan beragam pengalaman serta peristiwa dari masa ke masa. Tak terkecuali, menjadi saksi hidup Tjipto dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 

photo
Potret Pesjati bersama cucunya. - (Dok. Koleksi keluarga Pesjati)

Monumen Tjipto dan Pesjati di Kota Malang

Tjipto adalah pahlawan sedangkan Pesjati merupakan masa depan. Dua sosok ini dinilai layak menempati ruang ingatan dalam wujud monumen tentang kemanusiaan. Apalagi, Kota Malang belum mendirikan monumen untuk mengenang tokoh Dokter Tjipto Mangunkusumo. 

Sebelum masa kemerdekaan, Kota Malang mempunyai jalan bernama Wilhelmina Straat. Nama jalan ini diubah menjadi Cipto Mangunkusumo sebagai wujud penghormatan masyarakat setempat. "Dan saya pikir hari ini kenapa tidak, suatu saat monumen kelak mengenai Tjipto dan Pesjati itu ada sendiri," jelas aktivis GMNI ini.

Pandangan tentang monumen juga diungkapkan Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang, Agung H Buana. Menurut dia, monumen peringatan wabah pes memang perlu didirikan di Kota Malang. Wabah yang menyebar hampir sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur (Jatim) ini harus diingat dan diwaspadai oleh masyarakat di berbagai masa. 

Di sisi lain, pendirian monumen juga harus berhubungan dengan tokoh teladan seperti Tjipto Mangunkusumo. Tokoh ini tidak hanya membantu menolong masyarakat dari wabah, tapi juga bayi yang ditinggal mati oleh orang tuanya. "Saya membayangkan perjuangan dokter dengan anaknya untuk menangani wabah, ini harus jadi pilihan untuk patungnya sendiri," ungkap pria yang juga menjabat sebagai Kasi Pengembangan Ekonomi Kreatif, Disporapar Kota Malang ini.

Pendirian monumen wabah pes dianggap penting karena banyak warga di era kini tidak mengetahui peristiwa tersebut. Padahal kejadian itu sudah seharusnya menjadi pengingat agar masyarakat lebih waspada. Apalagi saat ini Kota Malang sama-sama menghadapi wabah kembali, meski berbeda jenis.

Untuk membangun monumen, ini harus melalui sejumlah tahapan terlebih dahulu. Proses yang dimaksud antara lain memastikan peristiwa, kajian untuk memperoleh nilai dan penganggaran.

"Jadi kalau peristiwa sudah ada, sekarang siapa yang bertugas mengkaji? Mengkaji itu kembali lagi siapa yang menyediakan anggaran untuk kajian itu. Dan terakhir kalau kajian itu sudah ada akhirnya, maka muncul nilai, dan rencana monumen kan butuh anggaran. Anggaran siapa yang untuk membangun? Masih ada beberapa tahapan harus dilalui," kata Agung.

Wali Kota Malang, Sutiaji mengaku, belum bisa memberikan komentar banyak terkait pendirian monumen wabah pes. Pasalnya, pihaknya harus melakukan telaah dan kajian mendalam terlebih dahulu. Hal yang pasti keberadaan monumen tersebut harus mempunyai nilai manfaat untuk masyarakat. 

"Insya Allah karena di sini tidak menutup kemungkinan (mendirikan monumen. Maka, harus ada kajiannya dahulu, perlunya di mana dan memang (harus ada) nilai manfaat," ucap pria berkacamata ini kepada Republika di Balai Kota Malang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement