REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Moch Nurhasim merespons terbitnya Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 6 Tahun 2020. Menurutnya, instruksi tersebut menujukkan adanya gejala resentralisasi.
"Memang ada gejala resentralisasi dan ini nanti akan punya dampak yang saya kira cukup signifikan dengan apa yang saya sampaikan sebagai sentralisasi dan demokrasi lokal, karena kepala daerah itu dipilih melalui pilkada secara langsung," kata Nurhasim dalam diskusi daring, Sabtu (21/11).
Ia menilai konsekuensi dari sentralisasi tersebut bisa berujung pada pemberhentian kepala daerah oleh pemerintah pusat. Menurutnya, pemerintah pusat harus adil dan melihat persoalan ini secara proporsional dan utuh, serta tidak boleh kuat unsur politisasinya.
"Karena ini nanti akan menciptakan kericuhan di dalam konteks demokrasi di tingkat lokal," ujarnya.
Jika resentralisasi dilakukan oleh pemerintah pusat, ia mempertanyakan kemampuan pemerintah pusat dalam menjalankan fungsinya secara optimal. Menurutnya, saat diimplementasikan, banyak kementerian dan lembaga di tingkat pusat tidak memiliki perangkat-perangkat di daerah untuk menjalankan programnya.
"Kalau itu kemudian akan diperbantukan sebagai tugas dekonsentrasi atau perbantuan ke provinsi, itu bisa menimbulkan persoalan kalau belum tentu provinsi belum menjalankan secara maksimal," kata dia.
"Koordinasinya yang smooth lah, karena ini berkaitan dengan persoalan-persoalan integrasi nasional," kata dia.
Selain itu, ia juga menyoroti komunikasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang dinilai agak bermasalah. Karena itu, ia mengimbau agar perlu dibuat satu mekanisme komunikasi yang lebih hikmat antarkeduanya.
"Demokrasinya lebih hikmat, hikmat itu arif," ungkapnya.