Ahad 22 Nov 2020 13:09 WIB

Pakar: Pemberhentian Kepala Daerah Butuh Proses Panjang

Salah satu kepala daerah yang diberhentikan adalah mantan Bupati Garut Aceng HM Fikri

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Djohermansyah Djohan
Foto: antara
Djohermansyah Djohan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar otonomi daerah, Djohermansyah Djohan mengatakan, pemberhentian kepala daerah memang dapat dilakukan. Namun, hal tersebut memerlukan proses yang sangat panjang.

“Kalau ada pelanggaran-pelanggaran, misalnya tidak mematuhi peraturan perundang-undangan, bisa diberhentikan dengan tahapan-tahapan yang begitu panjang,” ujar Djohermansyah dalam sebuah diskusi daring, Ahad (22/11).

Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) menjelaskan, pemberhentian kepala daerah dapat diusulkan oleh DPRD provinsi/kabupaten/kota. Ataupun oleh pemerintah pusat, seperti yang tertera dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Salah satu kepala daerah yang diberhentikan, Djohermansyah mencontohkan, adalah mantan Bupati Garut Aceng HM Fikri. Dia diberhentikan, karena melanggar etika dan undang-undang akibat pernikahan sirinya dengan gadis berusia 18 tahun.

“Perbaikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi 23 Tahun 2014 dibahas dengan DPR dan disepakati ada saksi. Sehingga, kepala daerah tidak sesuka hati karena merasa sebagai raja kecil,” ujar Djohermansyah.

Di samping itu, dia menilai, berlebihan pemberhentian kepala daerah seperti yang tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Sebab, kepala daerah bisa terlebih dulu ditegur secara lisan dan tulisan oleh Menteri Dalam Negeri, bahkan presiden.

“Inmen (instruksi menteri) ini mungkin berlebihan menurut saya. Jadi, bisa lebih dulu dengan teguran kepala daerah yang kita nilai dalam penanganan Covid ini,” ujar mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menerbitkan Instruksi Mendagri tentang Penegakan Protokol Kesehatan (Prokes) Pencegahan Covid-19 kepada seluruh kepala daerah pada Rabu (18/11). Hal ini sebagai respons pemerintah atas peristiwa kerumunan massa yang seolah tidak mampu ditangani kepala daerah.

Tito meminta, kepala daerah mematuhi segala peraturan yang berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19, termasuk aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dia menegaskan, agar kepala daerah konsisten menaati prokes guna mencegah penyebaran Covid-19.

"Saya sampaikan kepada gubernur, bupati, dan wali kota untuk mengindahkan instruksi ini, karena ada risiko menurut UU. Kalau UU dilanggar dapat dilakukan pemberhentian," ujar Tito.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement