REPUBLIKA.CO.ID, Dalam surat al-Kahfi ayat 82, Allah SWT mengisahkan tentang Nabi Khidir yang merenovasi rumah dua anak yatim. Ada banyak pelajaran fiqih yang bisa diambil dari ayat tersebut berikut ini:
أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada kanzun bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kaemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (QS Al-Kahfi: 82)
Menurut pakar fiqih, Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA, sebutan yatim yang diucapkan Nabi Khidir adalah sebutan dalam Islam bagi seorang anak ditinggal mati oleh ayahnya, atau ibunya, atau keduanya, dan sudah tidak disebut yatim jika seorang anak tadi sudah sampai umur (baligh).
“Penyebutan yatim untuk mereka yang sudah dewasa dinilai hanya sebatas ungkapan kasih sayang saja, karena hakikatnya label yatim itu sudah harus dihilangkan ketika mereka sudah sampai umur baligh,” kata Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA,
Sedangkan keadaan Nabi Khidir dan Nabi Musa yang kala itu sedang dalam perjalanan dan dalam keadaan lapar, disebut Ibnu Sabil. Ibnu Sabil adalah sebutan bagi salah satu orang yang berhak menerima zakat. Ibnu Sabil itu tidak bisa diterjemahkan hanya dengan istilah “anak jalanan” sebagaimana anak jalanan yang ada di negeri kita. Ibnu sabil itu adalah orang yang kehabisan bekal perjalanan, sehingga sulit baginya untuk meneruskan perjalanan juga sulit baginya untuk kembali ke rumahnya.
Termasuk dalam kategori ibnu sabil untuk orang yang kehabisan bekal di dalam perjalannya, walaupun sebenarnya di rumahnya dia orang yang berkecukupan, demikian pendapat ulama Mazhab Syafii dan Mazhab Hanbali, walaupun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa orang seperti ini sebaiknya berhutang saja, dan jangan diberi uang dari zakat.
Namun tidak dikatakan ibnu sabil jika ada orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan namun di dompetnya ada kartu ATM yang kapan saja uang tabungannya bisa diambil dengan mudah.
Tidak semua orang bisa disebut dengan ibnu sabil, kecuali memenuhi syarat berikut ini, Muslim, kehabisan bekal/harta dan di tangannya sudah tidak ada apa-apa lagi, bukan dalam perjalanan maksiat, tidak ada pihak yang bersedia memberi hutang (syarat tambahan dari sebagian ulama).
"Dalam konteks kekinian maka bisa dikatakan sebagai ibnu sabil untuk para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terlunta-lunta di negeri orang, sehingga jangankan untuk menyambung hidup yang layak, untuk pulang ke negeri sendiri saja susah, lantaran tidak ada harta untuk membeli tiket pulang. Pun begitu bagi mereka yang para korban perdagangan manusia (human trafficking), yang memang kebanyakan dari kasus tersebut menimpa orang-orang miskin, sehingga secara konsep zakat sebaiknya mereka juga bisa masuk dalam daftar mustahiq zakat atas sama ibnu sabil," jelas Ustadz Mahadhir.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana." (QS At-Taubah : 60)
Sumber: https://www.rumahfiqih.com/z.php?id=111