REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Presiden Prancis Emmanuel Macron bertemu perwakilan Dewan Agama Muslim Prancis (CFCM) dan mendesak mereka mengadopsi piagam nilai-nilai Republik dalam waktu 15 hari pada (18/11) lalu. CFCM setuju membentuk dewan imam nasional agar mengawasi akreditasi resmi para penceramah Islam.
Pada Oktober, Prancis dihebohkan pemenggalan kepala guru bahasa Prancis Samuel Paty dan serangan penikaman brutal terhadap umat paroki di Basilika Notre-Dame di Nice. Menurut pihak berwenang negara, keduanya dilakukan simpatisan radikal.
Presiden Prancis mengumumkan tindakan keras terhadap radikal dalam pidatonya di Les Mureaux pada 2 Oktober. "Yang harus kita tangani adalah separatisme Islam,” kata Macron. Pidato itu disampaikan di tengah persidangan penyerang Charlie Hebdo dan mengikuti publikasi ulang kartun Nabi Muhammad.
Retorika Macron yang keras dan dukungannya terhadap kartun-kartun tersebut dianggap menghujat dalam Islam. Ini disambut dengan kebencian oleh umat Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Ketegangan meluas ke negara-negara mayoritas Muslim lainnya dengan beberapa dari mereka menyerukan pemboikotan barang-barang Prancis.
"Saya pikir alasan ketegangan ini adalah kesalahan persepsi antara kedua pihak dan kegagalan untuk menerka situasi dengan beberapa akurasi. Prancis memang membedakan antara istilah 'agama Islam' yang mengacu pada agama dan 'Islamisme' yang mengacu pada arus politik Islam dan arus ekstremisme dan terorisme", kata peneliti politik Mesir dan anggota Yayasan Pemuda Mediterania, Mohammad Fawzi.
Pujian Macron tentang kartun provokatif pada kenyataannya menutupi pesan Macron yang menargetkan Islam politik, arus ekstremisme, dan terorisme. Ini diwakili Alqaeda, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah arus salafi internasional, yaitu menyebarkan gagasan radikal di seluruh Eropa dan di Prancis.
Selain berusaha membebaskan pemuda Muslim Prancis dari pengaruh radikal, Presiden Prancis mengusulkan agar lebih banyak mengajarkan bahasa Arab di sekolah. “Macron gagal untuk membedakan dengan tepat antara masalah kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap simbol agama. Hal ini mendorong beberapa orang untuk berdebat," ujar Fawzi.
Untuk meredakan ketegangan, Paris berusaha berdamai dengan dunia Muslim. Pada 8 November, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian memulai misi diplomatik ke Mesir.