REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia telah memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen. Penurunan bunga acuan diharapkan dapat diikuti oleh perbankan dengan memangkas suku bunga kredit untuk mendorong pemulihan ekonomi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), suku bunga rata-rata kredit pemilikan rumah (KPR) bank umum per Agustus sebesar 8,54 persen atau hanya turun 0,14 persen dibandingkan Desember 2019.
Kondisi tersebut ditanggapi oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Menurut Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza perseroan telah menurunkan suku bunga KPR segmen komersial sebesar tujuh persen sedangkan segmen subsidi sebesar lima persen.
“Bahkan yield KPR sudah turun gradual selama tiga tahun terakhir,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (22/11).
Aestika menyebut penurunan suku bunga KPR direspon positif oleh masyarakat, sehingga pencapaian penyaluran KPR bisa tumbuh double digit. Tercatat total outstanding KPR per Juni 2020 senilai Rp 33,5 triliun atau masih tumbuh 12,4 persen secara year on year (yoy).
“Kami memiliki produk KPR yang murni floating rate, jadi suku bunga akan otomatis turun dengan sendirinya,” ucapnya.
Ke depan, perseron menargetkan pertumbuhan kredit secara keseluruhan tumbuh empat persen sampai lima persen hingga akhir 2020.
Sementara PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyatakan perseroan mendukung sepenuhnya komitmen Bank Indonesia untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional melalui pemberian stimulus fiskal, dengan mekanisme penurunan suku bunga acuan ini.
“Kami telah menyiapkan kombinasi penawaran paket pembiayaan KPR yang telah disesuaikan, baik dari sisi suku bunga, tenor, dan program benefit lainnya,” ujar Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rudi As Aturridha kepada Republika.co.id dalam kesempatan terpisah.
Rudi merinci saat ini suku bunga KPR yang ditawarkan Bank Mandiri mulai 4,59 persen fix satu tahun, 5,99 persen fix tiga tahun, dan 6,86 persen fix lima tahun. “Khusus penawaran KPR untuk pegawai kami juga bisa kasih suku bunga fix 10 tahun, mulai dari 8,88 persen,” ucapnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai saat ini perbankan melihat risiko penyaluran kredit ke sektor properti masih tinggi, sehingga bunga KPR yang ditahan dianggap sebagai bentuk kompensasi terhadap tingginya risiko kredit macet.
“Bank juga terbebani cost of fund yang meningkat dari sisi nominal seiring pertumbuhan DPK yang tinggi, sehingga beban pembayaran bunga kepada deposan meningkat. Padahal penerimaan bank dari kredit sedang turun,” ujarnya.
Kemudian Bhima menyebut perbankan masih dalam posisi sulit untuk menutup biaya operasional selama masa pandemi, sehingga penerimaan dari bunga pinjaman KPR dioptimalkan untuk menutup biaya operasional seperti karyawan, sewa kantor, dan lainnya.
“Saat ini bank mempersiapkan adanya risiko kredit macet pasca relaksasi kredit berakhir. sebagai langkah antisipasi bank mendorong NIM tetap lebar agar pendapatan dari pinjaman kredit bisa menutup tambahan pencadangan,” ucapnya.