REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memperketat ketentuan perpanjangan restrukturisasi kredit. Adapun implementasi akan dimulai saat ketentuan POJK 11/2020 berakhir pada Maret 2021 dan berlaku sampai Maret 2022.
Ketua Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan pengetatan ketentuan tersebut untuk mengantisipasi dampak lanjutan pasca kebijakan restrukturisasi berakhir. Ada empat substansi yang akan jadi pokok ketentuan perpanjangan POJK 11/2020 soal relaksasi restrukturisasi kredit terimbas pandemi.
“Pertama, soal kriteria debitur yang laik dapat perpanjangan restrukturisasi. Bank mesti melakukan self assessment terhadap debitur yang dinilai mampu terus bertahan, masih memiliki prospek usaha, sehingga bisa diberikan perpanjangan,” ujarnya kepada wartawan, Senin (23/11)/
Kedua, soal pembentukan pencadangan, bank diminta untuk membentuk pencadangan terhadap debitur-debiturnya yang menerima restrukturisasi imbas pandemi dan dinilai tak lagi memiliki kemampuan bayar pasca restrukturisasi rampung.
Hal tersebut mengingat bank tak diwajibkan membentuk pencadangan terhadap kredit terimbas pandemi yang direstrukturisasi. Sebab, status kredit akan tetap dinyatakan lancar alias berada dalam kategori kolektibilitas 1.
Ketiga, bank juga diminta agar mengutamakan pembentukan pencadangan dan ketahanan modal terlebih dahulu sebelum menetapkan kebijakan pembagian dividen.
“Dalam hal bank akan melakukan pembagian dividen agar mempertimbangkan ketahanan modal atas tambahan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang harus dibentuk untuk mengantisipasi potensi penurunan kualitas kredit yang direstrukturisasi,” ucapnya.
Heru mengaku saat ini sejumlah bank besar telah membentuk pencadangan untuk rasio lebih dari 100 persen terhadap non performing loan-nya kini. Namun masih ada pula yang pembentukan pencadangannya masih di bawah rasio tersebut.
Keempat, OJK meminta bank untuk secara berkala melaporkan stress test terhadap potensi penurunan kualitas kredit yang direstrukturisasi.