REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta industri perbankan dapat mempertebal pencadangan sebagai antisipasi lonjakan kredit bermasalah. Adapun langkah ini dilakukan pascarestrukturisasi kredit.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana, mengatakan, beberapa bank sudah ada yang membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) di tengah pandemi Covid-19. Namun tak sedikit pula perbankan yang belum menyiapkan CKPN.
“Saya tidak pernah lelah mengingatkan (perbankan) untuk siapkan CKPN, pupuk pelan-pelan,” ujarnya kepada wartawan, Senin (23/11).
Menurutnya, selama masa pandemi, otoritas memang memberikan relaksasi kredit khusus bagi debitur terdampak pandemi Covid-19. Perbankan juga diperbolehkan tidak membentuk CKPN karena kredit hasil restrukturisasi bisa langsung dianggap lancar.
“Ya kita tekankan, pembentukan CKPN jangan business as usual. Ada bank yang sudah bentuk pencadangan 100 persen tapi masih ada yang belum. Ini yang kita ingatkan, jangan lengah karena nanti bisa saja yang sudah direstrukturisasi jadi bermasalah,” jelasnya.
Jika CKPN perbankan memadai, menurutnya, maka manajemen tak perlu pusing jika kredit bermasalah melonjak saat kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit berakhir pada 2022. Dia bilang kemungkinan debitur akan menunggak kredit pada 2022 mendatang tetap ada.
"Bersyukur kalau debitur sehat (setelah restrukturisasi sampai 2022), tapi kalau bermasalah di ujungnya, CKPN belum ada, nanti kaget," ucapnya.
Dari sisi lain, Heru juga menuturkan, belum semua nasabah memahami perihal permohonan restrukturisasi. Menurutnya, bank memiliki kewenangan menilai dan memutuskan pinjaman debitur yang akan direstrukturisasi.
“Ada nasabah yang belum terlalu paham, kalau dia ajukan ke bank pasti disetujui, tapi sebenarnya ya belum tentu. Kita beri keleluasaan kepada bank untuk menilai siapa nasabah yang perlu dapat restrukturisasi,” ucapnya.