Senin 23 Nov 2020 17:20 WIB

Defisit APBN 6,34 Persen, Sri Mulyani: Cukup Rendah

Defisit APBN bulan lalu terjadi karena pendapatan negara kontraksi 15,4 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, kas negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai dengan akhir Oktober mengalami defisit Rp 764,9 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 4,67 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB), masih di bawah target pemerintah, 6,34 persen terhadap PDB.
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, kas negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai dengan akhir Oktober mengalami defisit Rp 764,9 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 4,67 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB), masih di bawah target pemerintah, 6,34 persen terhadap PDB.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, kas negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai dengan akhir Oktober mengalami defisit Rp 764,9 triliun. Jumlah tersebut setara 4,67 persen dari total produk domestik bruto (PDB), masih di bawah target pemerintah, 6,34 persen terhadap PDB.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, besaran defisit Indonesia masih disebut sedang apabila dibandingkan negara-negara lain, termasuk anggota G20. "Masih cukup relatif modest (rendah), tidak seperti negara lain yang kontraksinya sampai 20 atau 15 persen," tuturnya dalam paparan kinerja APBN secara  virtual, Senin (23/11).

Baca Juga

Sri menjelaskan, berdasarkan pertemuan pemimpin G20 yang dilaksanakan pada Sabtu (21/11) dan Ahad (22/11), semua negara melakukan kebijakan serupa. Mereka memberikan dukungan countercyclical, terutama dari sisi fiskal atau APBN.

Dari semua negara berkembang G20, Sri menjelaskan, pelebaran defisit Indonesia berada pada bagian yang dianggap cukup rendah. Posisi Indonesia berada tidak jauh dari China. "Perubahan dari sisi defisit ini mainly ditujukan untuk memberikan dukungan terhadap ekonomi dan belanja di bidang kesehatan," katanya.

Dengan kebijakan countercyclical, Sri mengakui, utang pemerintah banyak negara mengalami kenaikan, termasuk Indonesia. Sejumlah negara maju G20 bahkan mencatatkan pertumbuhan luar biasa, dari 100 persen terhadap PDB menjadi sekitar 130 persen dari PDB.

Untuk negara berkembang G20, rata-rata utangnya masih berada di level 60-70 persen dari biasanya di kisaran 50 persen. Level utang Indonesia sendiri diproyeksikan akan mencapai 36-37 persen, naik dari rata-rata sebelum pandemi Covid-19 yang di sekitar 30 persen.

Meski masih berada di bawah rata-rata G20, Sri menekankan, pemerintah tetap akan waspada dalam mengelola utang. "Kita tetap menjaga kondisi semua hal dan lini supaya ekonomi kita baik dan secara fiskal bisa sustainable," ujarnya.

Lebih detail, defisit hingga akhir bulan lalu disebabkan oleh pendapatan negara mengalami kontraksi 15,4 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, menjadi Rp 1.276,9 triliun. Penurunan terutama terjadi pada penerimaan perpajakan yang tumbuh negatif 15,6 persen menjadi Rp 991,0 triliun seiring dengan masih terbatasnya aktivitas dan adanya pemanfaatan stimulus perpajakan.

Sementara itu, belanja negara  mengalami pertumbuhan 13,6 persen menjadi Rp 2.041,8 triliun untuk mendukung kinerja Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kenaikan terjadi pada belanja kementerian/lembaga  yang sebesar 14,6 persen maupun non kementerian/lembaga dengan pertumbuhan 26 persen.

Dari sisi pembiayaan, Kemenkeu mencatat, besarnya sampai dengan akhir Oktober mencapai Rp 928,4 triliun. Jumlah ini naik signifikan, yaitu 143 persen, dibandingkan realisasi periode yang sama pada 2019, yakni Rp 382 triliun.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement