REPUBLIKA.CO.ID, VATIKAN --Untuk pertama kalinya Paus Fransiskus menyinggung soal muslim Uighur di China. Hal tersebut ia sampaikan dalam buku barunya.
Dia menyebut Muslim Uighur di China sebagai orang yang teraniaya. Hal ini telah didesak aktivis hak asasi manusia untuk dilakukannya selama bertahun-tahun.
"Saya sering memikirkan orang-orang yang teraniaya: Rohingya, Uighur yang malang, Yazidi," kata dia, di bagian di mana dia juga berbicara tentang penganiayaan Kristen di negara-negara Muslim, dilansir dari laman TRT World, pada Selasa (24/11).
Adapun para pemimpin agama, kelompok aktivis, dan pemerintah menyatakan, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida sedang terjadi terhadap warga Uighur di wilayah Xinjiang yang terpencil di China. Tempat di mana lebih dari satu juta orang ditahan di kamp-kamp.
Bulan lalu, selama konferensi di Vatikan, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo mengecam China atas perlakuannya terhadap orang Uighur.
Beijing telah menolak tuduhan itu sebagai upaya untuk mendiskreditkan China. Sebaliknya, mereka menyatakan kamp-kamp itu merupakan pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan sebagai bagian dari langkah-langkah kontra-terorisme dan deradikalisasi.
Banyak komentator menyatakan Vatikan enggan berbicara tentang Uighur sebelumnya, karena sedang dalam proses memperbarui kesepakatan kontroversial dengan Beijing tentang pengangkatan uskup. Kesepakatan itu, yang diminta Pompeo untuk ditinggalkan oleh Vatikan, diperbarui pada September.
Dalam "Let Us Dream: The Path to A Better Future", Fransiskus juga mengatakan pandemi Covid-19 harus mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan secara permanen membangun pendapatan dasar universal.
Buku itu merupakan kolaborasi 150 halaman dengan penulis biografi berbahasa Inggrisnya, Austen Ivereigh. Fransiskus berbicara tentang perubahan ekonomi, sosial dan politik yang menurutnya diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan setelah pandemi berakhir. Ini mulai dijual pada 1 Desember.