REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Al-Yaqin, bermakna nyata atau terang, artinya bahwa al-yaqin itu wilayah bagian dalam tetapi diperlukan pembuktian empirik; lawan dari syak atau ragu. Jika dijalurkan dari al-i’tiqad ke al-yaqin, maka al-yaqin diperlukan kenyataan dalam realitasnya atau bukti secara empirik di lapangan.
Jika seseorang melakukan transaksi dengan pihak lain secara berulang-ulang, dan secara nyata pihak lain itu benar kejujurannya, sehingga ia merasakan tertolong, dan kebutuhannya itu tidak lagi berat. Maka, orang lain itu diyakininya sebagai seorang yang jujur.
Jika kejujuran (al-shidq) dan amanah (al-amanah) itu, bisa diketahui oleh semua orang dalam kehidupan nyata sehingga merapat dengan tradisinya, mereka berkeyakinan orang tersebut benar jujur dan terpercaya, maka dalam hadits Nabi saw digelari sebagai seorang shiddîqan (sangat jujur).
Atas dasar itu Prof Hamka (Tasawuf Modern: 55-65) membagi konsep keyakinan itu ada tiga: 1) ilmu al-yaqin (mengetahui dengan yakin); 2) haqqu al-yaqin (kebenaran dengan yakin); dan 3) ‘ain al- yaqin (keterlibatan sendiri disertai keyakinan).
Bagian ketiga itu yang paling tinggi tingkatannya. Dikatakan paling tinggi, karena dilihat dari sudut komitmen seseorang terhadap pengetahuannya itu sudah merapat dengan amaliah pribadinya disertai nilai akhlaknya.
Standar orang seperti ini sangat sedikit. Ungkapan dalam Al-Qur’an, disebutkan Qs al-A’raf: 3; qalîlan mâ tadzakkarûn (sedikit orang yang berdzikir); atau Qs al-A’raf: 10: qalîlan mâ tasykurûn (sedikit orang yang bersyukur). Hanya dua standar ini yang diisyaratkan Al-Qur’an, sebagai kelompok sedikit, tidak ada selainnya.
Berbeda dengan orang yang tingkatannya haqqu al-yaqin, yang masih belum bisa melaksanakan sesuatu yang diyakininya itu. Kondisi seperti ini yang ditemukan di kebanyakan orang. Sedangkan yang masuk kriteria ‘ilmu al-yaqin lebih banyak lagi, karena keawaman dan ketaqlidannya. Bahkan, ada orang di luar penganut agama tertentu, bisa mengetahui agama lainnya, dan pengetahuannya itu menjadi wilayah kehidupannya sebagai ilmuwan dalam bidang muqârranah al-adyan (perbandingan agama).
Posisi orang yang terakhir ini, tidak berbeda dengan ahli ilmu yang lainnya. Yang jelas, konsep al-yaqîn itu lebih banyak memanfaatkan potensi setiap orang yang disebut Inner Capacity atau Inner Dynamic-nya, sekalipun masih jauh dari sudut pemanfaatan ke-fithriyah-an diri sebagai manusia makhluk terunggul dan termulya di alam ini, disebabkan akhlaknya masih buruk, kepribadiannya sangat jauh dari standar yang Nabi SAW teladankan.
H. Ayat Dimyati, Dosen UIN Gunungjati Tetap Bandung
https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/11/21/al-yaqin/