Rabu 25 Nov 2020 02:24 WIB

Guru Besar UGM: Mendagri tidak Bisa Pecat Kepala Daerah

Teguran Mendagri agar kepala daerah tak kendor hadapi Covid-19.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Indira Rezkisari
Mendagri Tito Karnavian
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Mendagri Tito Karnavian

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Mendagri mengeluarkan instruksi ketentuan pemberhentian kepala daerah bila terbukti melanggar protokol kesehatan. Guru Besar Ilmu Pemerintahan UGM, Prof Purwo Santoso mengatakan, Mendagri tidak bisa begitu saja memberhentikan kepala daerah.

Sebab, kepala daerah mereka dipilih langsung rakyat, sehingga pemberhentiannya harus dilakukan oleh rakyat melalu DPR.

Baca Juga

"Secara prosedural kepala daerah dipilih melalui pilkada, sehingga ikatannya dengan rakyat bukan dengan Mendagri. Harus ada situasi khusus yang menjadikan Mendagri bisa memecat kepala daerah," kata Purwo, Selasa (24/11).

Purwo menuturkan, pemberhentian kepala daerah harus dengan alasan kuat sesuai UU. Sudah diatur dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), dalam pasal 78 UU ini dirinci sejumlah persyaratan terkait pemberhentian kepala daerah.

Di antaranya, kata Purwo, berakhirnya masa jabatan, tidak melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama enam bulan, dan dinyatakan melanggar sumpah jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Kemudian, melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah, melakukan perbuatan tercela, diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh presiden yang dilarang dirangkap sesuai perundang-undangan, memakai dokumen dan atau keterangan palsu.

"Ada sekian banyak prosedur untuk pemberhentian kepala daerah, salah satunya didakwa melakukan pelanggaran pidana berat seperti korupsi, pembunuhan dan lainnya," ujar dosen Departemen Ilmu Politik Pemerintahan Fisipol UGM itu.

Purwo menilai, tindakan Mendagri mengeluarkan instruksi tersebut merupakan bentuk pengingat bagi kepala daerah dalam menangani pandemi Covid-19. Mereka diminta bisa konsisten menegakan protokol kesehatan mencegah penyebaran Covid-19 di daerahnya.

"Jadi, tidak bisa Mendagri memecat kepala daerah, harus pakai delik-delik hukum alasan impeachment (pemakzulan) dan harus ada bukti kejahatan. Sementara, tidak ada dasar menegakan protokol Covid-19 masuk sebagai alasan pemecatan," kata Purwo.

Ia melihat, instruksi yang diterbitkan Mendagri relevan sebagai usaha pengelolaan psikologi massa jika kepala daerah kinerjanya diawasi pemerintah pusat. Namun, mengeluarkan instruksi tidak tepat dijadikan sebagai teguran kepada kepala daerah.

Demi menegakkan kedisiplinan penegakan protokol kesehatan oleh kepala daerah, Purwo menyampaikan solusi dengan pengembangan sistem informasi digital di tingkat daerah. Melalui sistem tersebut, kepala daerah dapat dimonitoring atau diawasi oleh rakyat.

Ia menambahkan, tantangan tim Covid-19 kini membangun sistem informasi digital yang tidak hanya melaporkan jumlah pasien Covid-19 yang meninggal saja. Tapi, harus juga melaporkan tentang kendornya pengawasan di daerah.

"Pendisiplinan aparat pengawas yakni TNI, Polisi dan kepala daerah perlu dilakukan agar yang meninggal karena Covid-19 tidak bertambah," ujar Purwo.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement