REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Berbeda dengan penduduk Arab Selatan, penghuni Lembah Hijaz cenderung tidak mengakrabi lautan. Sebagai contoh, masyarakat kota tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW, Makkah al-Mukarramah.
Mereka lebih suka berdagang melalui jalur darat. Alquran surat Quraisy mengabadikan tradisi tersebut:
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.”
Para ahli tafsir, baik dari kalangan klasik maupun kontemporer, sepakat bahwa perjalanan dagang pada musim dingin yang dimaksud ayat tersebut dilakukan ke arah utara.
Tujuannya adalah berbagai negeri, seperti Suriah, Turki, Yunani, dan sebagian Eropa Timur. Memasuki musim panas, kabilah utama Kota Makkah itu berniaga ke arah selatan, yakni Yaman dan Oman.
Di sana, mereka berinteraksi dengan para pedagang dari beragam bangsa yang singgah di bandar Aden.
Dalam Alquran, kata bahr (laut) tersebar dalam 32 ayat, sedangkan kata yang berarti 'daratan' ada di 13 ayat. Bila dijumlahkan, semuanya menjadi 45 ayat. Bagian untuk 'laut' adalah 32/45 atau 71,11 persen. Sementara itu, 'daratan' sebesar 13/45 atau 28,22 persen.
Perbandingan antara keduanya menunjukkan proporsi yang sebenarnya antara lautan dan daratan di bumi berdasarkan perhitungan sains modern.
Tidak mungkin Rasulullah SAW, seorang penduduk Makkah yang sepanjang hayatnya tidak pernah mengarungi lautan, mampu menciptakan sendiri ayat-ayat dengan komposisi seperti itu.
Fakta matematis demikian menjadi salah satu tanda kebenaran Alquran sebagai wahyu Ilahi. Begitu pula dengan macam-macam fenomena alam di lautan yang sudah disinggung Kitabullah, seperti batas antara dua lautan atau keberadaan sungai di bawah laut (QS ar-Rahman 18-20).
Peter Boxhall dalam Arabian Seafarers in the Indian Ocean (2007) mengatakan, umumnya bangsa Arab yang mendiami Lembah Hijaz kurang familiar terhadap laut. Di satu sisi, mereka andal dalam menjelajahi padang pasir. Kabilah-kabilah dagangnya masyhur di ujung utara dan selatan Jazirah Ara bia. Akan tetapi, di sisi lain ketangguhannya tak tampak di lautan luas. Dunia maritim masih menjadi sesuatu yang asing bagi mereka.
Syiar Islam ternyata mendorong orang-orang Makkah, khususnya Muslimin, untuk tidak lagi memunggungi laut. Itu bermula sejak Nabi Muhammad SAW melakukan dakwah secara terang-terangan. Persekusi yang dilakukan elite Quraisy sema kin keras. Kira-kira tiga tahun sesudah kenabiannya, Rasulullah SAW mengizinkan sebagian kaum Muslimin untuk berhijrah ke Habasyah (Etiopia). Untuk sampai ke sana, muhajirin tidak hanya menempuh perjalanan darat, tapi juga menyeberangi Laut Merah.
Sejak berhijrah ke Yastrib (Madi nah), Rasulullah SAW dan kaum Muslimin dapat mengonsolidasi kekuatan. Masa damai dengan musyrikin Makkah terjadi sejak penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah pada 629. Periode itu dimanfaatkan beliau untuk mengirimkan surat kepada sejumlah penguasa di Semenanjung Arab dan sekitarnya. Tujuannya untuk mengimbau mereka agar memeluk Islam.
Di antara para penerima surat tersebut ialah kepala-kepala suku di kawasan pesisir Arab, seperti Yaman, Oman, atau Bahrain. Masyarakat setempat semakin banyak yang memeluk Islam, khususnya sejak Pembebasan Makkah (Fathu Makkah). Mereka itulah yang kelak menjadi pendukung utama angkatan laut pertama dalam sejarah Islam.