REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyatakan, perjanjian penyerapan gula lokal oleh perusahaan importir gula baru terealisasi sebanyak 10 persen.
Sekretaris Jenderal APTRI, Nur Khabsyin, mengatakan, sesuai perjanjian, terdapat 11 perusahaan importir gula yang akan menyerap produksi gula petani dengan total sebanyak 496 ribu ton. Adapun kesepakatan harga penyerapan yakni Rp 11.200 per kilogram (kg).
Penyerapan itu dilakukan untuk memberikan kepastian kepada petani yang tengah mengalami kesulitan akibat kejatuhan harga.
Khabsyin mengatakan, akibat realisasi yang masih minim, petani terpaksa menjual gula ke pasar bebas. "Karena kita tidak bisa menunggu terlalu lama. Petani butuh modal untuk musim tanam selanjutnya," kata Khabsyin kepada Republika.co.id, Rabu (25/11).
Ia menuturkan, akibat tidak adanya kepastian penyerapan meskipun telah ada perjanjian, harga gula petani kembali fluktuatif. Ia menuturkan, harga sempat dijual Rp 10.800 per kilogram (kg). Adapun saat ini paling tinggi dihargai Rp 11 ribu per kg.
Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020, acuan harga pembelian gula di tingkat petani memang hanya Rp 9.100 per kg. Namun, APTRI sejak awal tahun ini telah mengajukan adanya kenaikan acuan harga lantaran biaya produksi terus mengalami peningkatan.
APTRI mengusulkan kenaikan harga pembelian gula di petani sebesar Rp 14 ribu per kg sebab biaya produksi diperkirakan sudah mencapai Rp 12.772 per kg. Namun, usulan tersebut ditolak dan pemerintah membuat kebijakan penyerpaan gula petani dengan harga Rp 11.200 per kg oleh importir gula.
Khabsyin mengatakan, APTRI telah melaporkan realisasi penyerapan gula petani yang masih minim kepada Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Perdagangan. Ia pun berharap, komitmen yang telah disepakati dapat dijalankan agar dapat menolong para petani tebu dalam negeri.
"Setiap tahun masalahnya selalu sama, setiap panen harga selalu rendah, sementara pemerintah terus jor-joran impor," ujarnya.