REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tengah menyusun Grand Strategi Energi Nasional. Ini dalam rangka menyediakan energi dalam jumlah yang cukup, merata, terjangkau, dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga tercapai energi yang berkeadilan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan, pemanfaatan energi di Indonesia saat ini masih mengandalkan energi fosil, baik yang disubsidi maupun yang berasal dari impor. Di sisi lain, potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Indonesia sangat melimpah.
"Ketergantungan kepada energi impor menjadi salah satu tantangan berat pemerintah dalam menjaga ketahanan energi nasional," kata Arifin, kemarin.
Di sisi lain, Indonesia dikaruniai sumber EBT yang melimpah, dengan total potensi mencapai lebih dari 417,8 GW. Namun, yang baru dimanfaatkan sebesar 10,4 GW atau sekitar 2,5 persen.
Untuk menjamin ketersediaan energi yang cukup, kualitas yang baik, harga terjangkau dan ramah lingkungan dalam kurun waktu 2020-2040, pemerintah menyusun Grand Strategi Energi Nasional.
Strategi yang dikembangkan, antara lain meningkatkan lifting minyak, mendorong pengembangan kendaraan listrik, pengembangan dan pembangunan kilang, serta pengembangan EBT untuk mengurangi impor minyak. Sedangkan untuk mengurangi impor LPG melalui strategi penggunaan kompor listrik, pembangunan jaringan gas kota, dan pemanfaatan Dimethyl Ether (DME).
Pelaksanaan Grand Strategi Energi Nasional juga mempertimbangkan kondisi pengembangan energi nasional saat ini. Memperhatikan sumber EBT yang tersedia dan menyesuaikan dengan tren ekonomi EBT.
Pemerintah, lanjut Arifin, telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement, yang menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Penurunan GRK ditargetkan sebesar 29 persen yang dilakukan dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan Bantuan Internasional.
"Sektor energi diharapkan menurunkan emisi sebesar 314-398 juta ton CO2," imbuh Arifin.