REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sejak 22 Juni 1834, Prancis mengeklaim Aljazair sebagai koloninya. Jean Baptiste Drouet menjadi gubernur jenderal pertama yang menjalankan otoritas sipil sekaligus militer Prancis di sana.
Waktu itu, Aljazair memiliki populasi sekitar dua juta Muslim. Tugas utama yang diberikan Paris untuk Drouet ialah memadamkan perlawanan rakyat Aljazair, khususnya yang dipimpin Habib Abdul Qadir (Abd el-Kader ibn Muhieddine).
Dalam sejarah Aljazair, nama Habib Abdul Qadir begitu harum sebagai pejuang yang disegani baik kawan maupun lawan. Sebelum kemunculan perjuangannya, sesungguhnya sudah ada berbagai bentuk perlawanan terhadap arogansi Prancis. Misalnya, suku-suku berber Muslim, Shalah dan Misra, dalam Perang Blida Pertama pada Juli 1830.
Bahkan, aliansi kedua suku tersebut berhasil menghalau armada Prancis yang berkekuatan 1.500 orang prajurit. Perlawanan yang tak kurang sengitnya juga ditunjukkan kaum Muslimin Aljazair di Bijayah dan Mitijah meskipun masing-masing harus berakhir dengan kemenangan pihak penjajah.
Bagaimanapun, perjuangan Habib Abdul Qadir tampak begitu mencolok karena berhasil menyatukan berbagai unsur kekuatan Aljazair untuk melawan Prancis. Bahkan, penghormatan untuknya tidak hanya datang dari masyarakat lokal dan pihak penjajah yang berhaluan humanis, tapi juga mancanegara, termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Dirinya sudah memulai jihad sedari belia.
Sebagai pemuda belasan tahun, ia ikut serta dengan ayahnya, Muhyiddin (Muhieddine) al-Hasani, ketika Aljazair masih menjadi sebuah provinsi Utsmaniyah.
Sang ayah pernah dipenjara karena berseberangan pandangan politik dengan bey Aljazair. Ketika pasukan Prancis mendarat di Wahransekitar 400 km dari arah barat Aljir para tetua suku setempat sepakat untuk mengangkat sang putra Muhyiddin sebagai pemimpin jihad.
Berdasarkan silsilahnya, nasab Habib Abdul Qadir sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui Hasan putra Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulullah SAW. Maka dari itu, klannya menyandang gelar syarif. Khususnya di Aljazair Barat, ayahnya merupakan tokoh yang sangat dihormati. Muhyiddin al-Hasani merupakan seorang ulama yang juga mursyid Tarekat Qadiriyah.
Karena konsistensinya dalam membela kaum papa, al-Hasani pernah ditetapkan sebagai tahanan rumah oleh gubernur Utsmaniyah di Aljir. Tidak cukup dengan itu, pada 1826 Utsmaniyah sampai memaksa dirinya agar menunaikan haji agar jauh dari kampung halamannya.
Waktu itu, Abdul Qadir muda menemani bapaknya untuk berziarah ke Tanah Suci. Hukuman dari penguasa Utsmaniyah itu menjadi semacam blessing in disguise bagi Abdul Qadir. Usai musim haji, ayahnya mengajaknya bepergian ke berbagai kota Islam, termasuk Baghdad dan Damaskus. Remaja berusia 18 tahun itu sangat terinspirasi para mubaligh yang ditemuinya di sepanjang perjalanan.
Saat itu, ia juga berziarah ke makam seorang ulama besar dalam sejarah peradaban Islam, Ibnu Arabi, di Damaskus. Kelak, kecintaannya terhadap sang salik dari abad ke-13 itu membuatnya memilih Damaskus sebagai tempat tinggalnya hingga tutup usia.