REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahar (mas kawin) adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Hal ini didasarkan antara lain pada firman Allah SWT. (yang maknanya: Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan ... (an-Nisa': 4).
Dalam sebuah hadits juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan kepada seseorang yang ingin nikah: "Berilah maharnya sekalipun sebentuk cincin dari besi." (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad). Para fuqaha sependapat bahwa sekalipun mahar itu wajib dibayarkan suami kepada istri, namun mahar itu sendiri bukanlah syarat atau rukun pernikahan.
KH Ahmad Zahro dalam Fiqih Kontemporer 3 mengatakan, menurut mereka, mahar hanyalah akibat adanya suatu akad nikah. Jadi, sekalipun akad nikah itu tanpa mahar, pernikahannya tetap sah.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT (yang maknanya): Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu jika kamu menceraikan istrimu sebelum kamu bercampur dengannya dan sebelum kamu menentukan maharnya ... (al-Baqarah: 236).
Mengenai bentuk dan jumlah (besaran) mahar, fuqaha sepakat bahwa tidak ada nas (ketentuan tertulis tentang hal tersebut. Tetapi, fuqaha sepakat dianjurkan agar mahar itu sederhana saja supaya tidak menjadi kendala pernikahan.
Rasulullah SAW pernah bersabda: "Nikah yang paling besar berkahnya adalah yang paling sedikit maharnya" (HR. Ahmad), dan dalam hadits lain di sebutkan: "Mahar yang paling baik itu adalah yang sedikit," (HR. Abu Dawud dan al-Hakim).
Ada tiga ketentuan penting tentang mahar: (1) berupa benda yang bisa dimiliki dan halal; (2) harus jelas jenis dan jumlahnya; (3) tidak terdapat unsur tipuan. Mahar bisa gugur, baik secara keseluruhan ataupun sebagian.