REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Didin Hafidhuddin memaparkan tentang makna wasathiyah dan peradaban Indonesia yang religius saat pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke-10 di Hotel Sultan pada Rabu (25/11). Munas bertema "Meluruskan Arah Bangsa dengan Wasatiyatul Islam, Pancasila serta UUD NRI 1945 secara Murni dan Konsekuen" ini digelar pada 25-27 November 2020.
Kiai Didin menyampaikan, "wasathiyah" berasal dari kata "wasatal" di dalam Alquran dalam surat Al-Baqarah ayat 143. Dalam berbagai macam tafsir dinyatakan bahwa makna dari "wasatal" adalah umat pilihan, umat yang terbaik, dan umat yang adil. Menurut Kiai Didin, wasatal dimaknai juga sebagai umat yang selalu menempatkan sesuatu pada tempatnya secara pas dan simetris.
"Umat yang selalu meletakkan sesuatu antara dua kutub, di tengah-tengah antara kubu yang kaku dengan kubu kebebasan yang mengarah kepada liberalisme," kata Kiai Didin dalam pembukaan Munas MUI ke-10 di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (25/11) malam.
Kiai Didin mengatakan, sudah sepantasnya apabila bangunan kemajuan dan bangunan peradaban yang akan datang ditopang dan ditegakkan pada landasan kuat, yaitu Islam wasathiyah. Pembangunan peradaban Indonesia adalah bangunan peradaban religius yang berdasarkan nilai-nilai agama juga berdasarkan pada implementasi ajaran agama itu sendiri.
Kiai Didin menyebut, peradaban Indonesia adalah peradaban yang sejatinya identik dengan peradaban yang penuh dengan keberkahan, yaitu selalu bertambahnya kebaikan dan kebermanfaatan pada semua dimensi kehidupan.
"Jika terjadi hal-hal yang tidak sejalan dengan cita-cita peradaban itu maka tanggung jawab kita semuanya terutama para ulama untuk meluruskan arah tersebut agar sejalan dengan ajaran agama, Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen," ujarnya.
Kiai Didin mengatakan, tegaknya bangunan peradaban Indonesia yang modern dan religius sejalan dengan visi-misi MUI, yaitu terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan yang baik serta memperoleh ridho Allah SWT menuju masyarakat yang berkualitas.
Untuk itu, Kiai Didin yang juga Dewan Pertimbangan MUI berpesan agar melaksanakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar dan mengembangkan akhlak karimah guna terwujudnya masyarakat yang berkualitas. Di samping itu, juga perlu mengembangkan ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kiai Didin menjelaskan, dalam rangka membangun ukhuwah Islamiyah yang kuat, Wantim MUI bersama dengan pimpinan ormas Islam hampir setiap bulan dalam masa pandemi Covid-19 bersilaturahim. Mereka membahas berbagai hal yang berkaitan dengan persoalan bangsa dan persoalan umat.
Hasil pembahasan itu dirumuskan bersama untuk direkomendasikan kepada Dewan Pimpinan MUI dan pimpinan ormas. Harapannya akan terjadi kesatuan langkah dan dapat memecahkan masalah-masalah bangsa dan umat, seperti masalah ekonomi yang harus berpihak kepada golongan lemah, azas pemerataan, pengurangan kesenjangan, penegakan hukum, keadilan pendidikan, dan masalah-masalah yang lainnya.
"Kami berharap dalam Munas ini disamping menghasilkan kepengurusan baru yang akan memimpin MUI di masa mendatang yang akan mempertahankan tugas sebagai pelayan umat dan mitra dari pemerintah yang tegas yang melakukan amar ma'ruf nahi munkar dengan tetap menjunjung tinggi semangat persatuan dan kesatuan dan itulah yang harus kita bangun bersama-sama," jelasnya.