REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, perlu ada aturan di tingkat daerah untuk mencegah praktik pekerja anak serta melindungi anak dari tindak pidana perdagangan orang. Sebab, ketiadaan regulasi di tingkat lokal telah memicu ketidakjelasan program serta longgarnya tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah pada masalah tersebut.
"Advokasi kebijakan sangat mendesak dilakukan," kata Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah dalam dalam jumpa pers secara virtual yang diliput di Jakarta, Rabu.
Ai mengatakan, pemerintah daerah perlu didorong untuk mengoptimalkan perangkat daerah untuk melakukan pemantauan di lapangan. Di samping itu, perlu pemutakhiran data terkait jumlah pekerja anak karena pandangan pemerintah daerah tentang praktik pekerja anak berbeda dengan kondisi di lapangan.
Dalam observasi yang dilakukan KPAI bekerja sama dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), Sekretariat Jarak, dan para pegiat pencegahan tindak pidana perdagangan orang di 20 kota di sembilan provinsi pada September hingga Oktober 2020, pemerintah daerah menyimpulkan tidak ada penambahan jumlah pekerja anak selama pandemi Covid-19. Ai mengatakan, hal itu berbeda dengan pandangan observer yang mengamati dan menggali informasi di lapangan.
"Terjadi peningkatan pekerja anak sebagai dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian keluarga," katanya.
KPAI juga mendorong pemerintah daerah mengoptimalkan koordinasi dan pola kerja gugus tugas pencegahan tindak pidana perdagangan orang untuk menyasar kantong-kantong praktik pekerjaan terburuk bagi anak sebagaimana dimandatkan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Observasi yang dilakukan KPAI menemukan selama pandemi COVID-19 terjadi peningkatan jumlah dan perluasan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, terutama anak yang dilacurkan dan anak pemulung. Sebagian besar lingkungan kerja pekerja anak dapat merusak atau menghambat tumbuh kembang anak.
Dalam survei tersebut terdapat lima sektor pekerja anak yang terobservasi, yaitu anak yang dilacurkan (31,6 persen), anak dipekerjakan di pertanian (21,1 persen), anak pemulung (15,8 persen), anak jalanan (15,8 persen), dan pekerja rumah tangga anak (15,8 persen).
Sejatinya, menurut Ai, anak tidak boleh bekerja dan tidak boleh bertanggung jawab atas kebutuhan dan ekonomi keluarga. Situasi dan latar belakang mereka bekerja dan menjadi pekerja anak tidak lepas dari peran orang tua, keluarga, dan orang dewasa atau lingkungan yang melekat di sekitarnya.