REPUBLIKA.CO.ID,
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Berhubung kesulitan komunikasi maka kami baru menerima berita kematian seorang saudara dua bulan setelah hari kematiannya. Apakah sah shalat ghaib yang dilakukan dua bulan setelah kematian seseorang? Dari beberapa rujukan kami mendapati bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat ghaib satu bulan setelah kematian, sehingga kami menganggap waktu satu bulan itu adalah jangka waktu terlama untuk melaksanakan shalat ghaib.
Kami mengharapkan petunjuk atas hal ini. Terima kasih atas perhatian saudara.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Munandar Joyoseputro (disidangkan pada Jum’at, 17 Rajab 1438 H / 14 April 2017)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan saudara kepada kami Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara perlu disampaikan terlebih dahulu tentang istilah ghaib. Secara bahasa ghaib adalah sesuatu yang tidak kelihatan, tersembunyi atau tidak nyata. Sedangkan yang dimaksud shalat ghaib adalah shalat yang dilakukan kepada jenazah di suatu tempat atau daerah yang tidak ada di hadapan secara langsung orang yang melakukan shalat jenazah.
Agama telah mengatur tentang kewajiban kaum muslimin terhadap kematian yang menimpa saudaranya muslim dengan cara melaksanakan empat perkara yaitu memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan. Kewajiban itu kemudian dikenal dalam fikih sebagai fardhu kifayah yakni kewajiban yang dilakukan oleh salah seorang atau sebagian orang sehingga terlepaslah hukuman bagi mereka yang tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk melaksanakan fardhu kifayah tersebut.
Perlu kami sampaikan pertanyaan yang saudara tanyakan berkaitan dengan shalat ghaib telah kami ulas pada buku Tanya Jawab Agama jilid 1 hal. 103-104 (shalat ghaib) dan jilid 3 hal. 189 (shalat ghaib bagi yang tidak dikenal di akhir hayatnya), hal. 192 (shalat ghaib tidak di kuburan). Namun demikan kami akan menjawab lebih jelas lagi sesuai dengan pertanyaan saudara sebagai berikut.
Hukum Shalat Ghaib
Hukum shalat jenazah secara ghaib telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, hal itu terjadi karena perbedaan cara pandang dalam mengartikan istilah ghaib dan pemahaman terhadap suatu hadits. Perbedaan ini pun terjadi di kalangan ulama Muhammadiyah sendiri dikarenakan belum ditetapkannya dalam suatu putusan seperti Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih. Adapun beberapa dalil yang dijadikan dasar baik bagi ulama yang membolehkan shalat ghaib maupun yang menolaknya, dilandaskan pada hadits-hadits berikut,
عَنْ جَابِرٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى أَصْحَمَةَ النَّجَاشِىِّ فَكَبَّرَ أَرْبَعًا [رواه البخارى].
Dari Jabir r.a. (diriwayatkan) bahwa Nabi saw telah menshalatkan Ashamah an-Najasyi, lalu ia (Nabi) takbir empat kali [HR. al-Bukhari].
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِىَّ فِى الْيَوْمِ الَّذِى مَاتَ فِيهِ، خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا [رواه البخارى].
Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan), bahwa Nabi saw telah memberitahukan kematian Najasyi pada hari kematiannya, beliau (Nabi) keluar (bersama sahabat) ke tempat shalat, lalu beliau atur shaf mereka dan bertakbir empat kali [HR. al-Bukhari].
Kedua hadits tersebut menjelaskan bahwa Nabi saw telah shalat jenazah untuk Najasyi tidak di hadapan jenazahnya secara langsung (ghaib). Najasyi adalah gelar untuk Raja Habasyah yang bernama ash-Shamah. Berita kematian Najasyi yang telah masuk Islam sampai kepada Nabi saw kemudian beliau memerintahkan shalat untuk Najasyi.
Hadits tersebut dipahami oleh sebagian ulama bahwa shalat yang dilakukan Nabi saw terhadap Najasyi dikarenakan Najasyi berada di negeri yang bukan muslim sehingga dimungkinkan tidak ada orang Islam yang menshalatkan jenazahnya. Namun sebagian ulama lain memahami bahwa Nabi saw melaksanakan shalat jenazah tersebut dengan tidak memberitahukan sebab dan alasannya sehingga itu menunjukkan kebolehan shalat ghaib.