REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Kepala daerah Tigray Debretsion Gebremichael menolak tuntutan Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed yang meminta Front Pembebasan Rakyat Tingray (TPLF) untuk menyerah dalam waktu 72 jam. Gebremichael mengatakan rakyatnya siap mati untuk tanah air mereka.
"Perdana menteri tidak mengerti siapa kami. Kami adalah orang-orang yang berprinsip dan siap mati untuk membela hak kami untuk mengelola wilayah kami," ujar Gebremichael dikutip laman BBC, Kamis (26/11).
Sangat sulit untuk memverifikasi apa yang terjadi di wilayah tersebut karena ada pemutusan jaringan komunikasi. TPLF adalah partai politik yang dominan di Tigray dan pernah menjadi kekuatan milisi kuat yang memimpin perjuangan untuk menggulingkan pemerintah Ethiopia sebelumnya pada 1991.
PBB dan organisasi internasional telah mendesak pihak-pihak dalam konflik Ethiopia menghentikan permusuhan dalam upaya mencegah korban sipil. Sebab, batas untuk ultimatum yang diberi Abiy semakin dekat.
"Retorika yang sangat agresif di kedua sisi mengenai perjuangan untuk Mekele sangat provokatif dan berisiko menempatkan warga sipil yang sudah rentan dan ketakutan dalam bahaya besar," kata kepala hak asasi manusia PBB Michelle Bachelet dilansir laman Sputnik, Kamis (26/11).
Sementara itu, pemerintah telah mengeklaim bahwa banyak militan dari pasukan Tigray telah menyerah. Namun, TPLF mengumumkan bahwa mereka telah menghancurkan sepenuhnya divisi mekanis ke-21 Angkatan Darat Ethiopia pada Selasa (24/11).
Kelompok itu juga mengaku bertanggung jawab atas serangan roket di Bahir Dar, ibu kota wilayah Amhara di selatan Tigray. Konflik antara pemerintah dan wilayah Tigray meletus awal bulan ini setelah Perdana Menteri Abiy Ahmed menuduh milisi Tigray melakukan serangan di pangkalan militer federal.
Pasukan Ethiopia menyatakan bahwa mereka telah menguasai beberapa kota di wilayah tersebut. Wilayah itu termasuk Igada Hamus, Adigrat, dan Axum, dan sekarang sedang menuju ke Mekele.