REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyatakan blokade Israel di Jalur Gaza merugikan keuangan Palestina lebih dari 16 miliar dolar AS. Kondisi itu pun mendorong lebih dari satu juta orang di bawah garis kemiskinan hanya dalam waktu 10 tahun.
Dokumen yang dikeluarkan pada Rabu (25/11) oleh Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) kepada Sidang Umum mencakup antara 2007 dan 2018. Hasil dari laporan itu menyerukan untuk segera menghentikan pengepungan yang terus berlanjut. Blokade ini telah menyebabkan hampir runtuhnya kegiatan ekonomi di Gaza dan tingkat kemiskinan 56 persen.
Dikutip dari Aljazirah, akibat pengepungan dan perang di Gaza, angka kemiskinan melonjak dari 40 persen pada 2007 menjadi 56 persen pada 2017. Artinya, lebih dari 1 juta warga Palestina tidak memiliki sarana untuk bertahan hidup.
Laporan tersebut memperkirakan bahwa mengentaskan warga ke atas garis kemiskinan akan membutuhkan suntikan dana sebesar 838 juta dolar AS atau empat kali lipat jumlah yang dibutuhkan pada 2007. Koordinator Bantuan untuk Rakyat Palestina UNCTAD, Mahmoud Elkhafif, menyatakan, situasi akan semakin parah jika blokade terus berlanjut.
"Blokade yang tidak adil di mana dua juta warga Palestina ditahan di dalam Gaza harus segera dicabut," ujar Elkhafif.
Elkhafif menyatakan, warga Palestina di Gaza harus diizinkan untuk bergerak bebas, berbisnis, berdagang dengan dunia luar. Mereka perlu berhubungan kembali dengan keluarga mereka di luar jalur tersebut.
Sejak Juni 2007, orang-orang Gaza telah dikurung di daerah kantong seluas 365 kilometer persegi dan mengalami embargo darat, udara, dan laut. Masuknya barang telah dikurangi seminimal mungkin, sementara perdagangan luar negeri dan ekspor telah dihentikan.
Sementara itu, penduduk memiliki akses yang sangat terbatas ke air bersih dan kekurangan pasokan listrik atau bahkan sistem pembuangan limbah yang layak. "Kecuali warga Palestina di Jalur Gaza mendapatkan akses ke dunia luar, sulit untuk melihat apapun kecuali keterbelakangan menjadi nasib masyarakat Gaza Palestina," kata direktur Divisi Globalisasi dan Strategi Pembangunan di UNCTAD, Richard Kozul-Wright.
Selain blokade dan pembatasan berkepanjangan oleh negara tetangga Mesir, daerah kantong yang dikelola Hamas mengalami tiga operasi militer Israel pada tahun 2007, 2012 dan 2014. Peristiwa itu merusak infrastruktur sipil dan menyebabkan banyak korban jiwa.
Sebanyak 3.793 warga Palestina meninggal, sekitar 18.000 terluka dan lebih dari setengah populasi Gaza mengungsi. Lebih dari 1.500 perusahaan komersial dan industri rusak, bersama dengan sekitar 150.000 unit rumah tangga dan infrastruktur umum termasuk energi, air, sanitasi, fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta gedung-gedung pemerintah.
Pejabat UNCTAD mengatakan dia berharap akan ada perubahan dalam hubungan Israel-Palestina di bawah pemerintahan baru Presiden terpilih Amerika Serikat, Joe Biden. Pada 2018, pemerintahan Donald Trump menarik dana badan PBB, UNRWA, yang mendukung lima juta pengungsi Palestina di Gaza, Tepi Barat yang diduduki, Lebanon, Suriah, dan Yordania.
"Pemotongan 200 juta dolar AS merupakan pukulan besar bagi ekonomi Palestina. Menarik untuk melihat apakah pemerintahan baru akan kembali pada keputusannya terhadap UNRWA," kata Kozul-Wright.
Laporan PBB itu menyerukan diakhirinya blokade dalam konteks resolusi Dewan Keamanan 1860 (8 Januari 2009) untuk memungkinkan ekonomi Gaza untuk berintegrasi kembali dengan seluruh dunia dan rekonstruksi semua infrastruktur penting. Pemulihan hak asasi manusia dasar orang-orang di Gaza, hak mereka untuk bergerak bebas, perawatan kesehatan, belajar dan bekerja.
"Bahkan sebelum 2016, hak asasi manusia Palestina dan hukum internasional sebagaimana yang dikodifikasi dalam resolusi PBB diabaikan dan ketegangan politik tinggi," ujar Kozul-Wright.
PBB juga merekomendasikan agar negara Palestina dimungkinkan untuk mengembangkan lapangan gas alam lepas pantai di perairan lepas pantai Gaza yang ditemukan pada tahun 1990-an di wilayah Palestina. Pendapatan itu akan memungkinkan kelonggaran finansial dan pendanaan untuk rekonstruksi infrastruktur penting.