REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama sedang membahas rencana penyiapan naskah khutbah Jumat. Rencana tersebut diharapkan menjadi alternatif para khatib Jumat saat akan menyampaikan khutbah.
“Penyusunan naskah khutbah Jumat semata-mata dengan tujuan memperkaya khazanah bagi para khatib, bukan menunjukkan ketakutan berlebihan atau paranoid, apalagi dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada ulama, kiai atau habaib. Penyusunan naskah khutbah ini pun melibatkan mereka,” kata Staf Khusus Menteri Agama Kevin Haikal dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Kamis (26/11).
Menurut Kevin, naskah khutbah Jumat disusun untuk menjadi referensi tambahan bagi para khatib, utamanya bagi mereka yang membutuhkan. Sifatnya alternatif, sehingga tidak ada keharusan menggunakannya. Alternatif ini, kata dia juga sudah diterapkan di beberapa negara Muslim seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
“Naskah-naskah yang disiapkan Kemenag bukan sesuatu yang mengikat atau wajib dibaca khatib saat khutbah seperti di negara-negara tadi. Menag Fachrul Razi menyatakan kita tidak ingin menerapkan hal seperti itu di Indonesia. Ruang ekspresi para khatib di atas mimbar tidak dibatasi,” ujarnya.
Dia menambahkan, Kemenag menyiapkan naskah khutbah sebagai opsi jika dibutuhkan, sekaligus guna memperkaya khazanah keislaman utamanya tema-tema terkait dinamika keberagamaan, sosial, dan persoalan ekonomi umat masa kini. Materi yang disiapkan, menurut Kevin, diproses melalui tahapan kajian yang panjang dengan melibatkan ulama, pakar, praktisi, dan akademisi.
Selain merespons perkembangan zaman, materi khutbah juga mengandung pesan wasathiyah atau moderasi beragama. Sumber rujukan yang digunakan juga otoritatif dengan penjelasan yang komprehensif.
“Jadi penilaian bahwa pemerintah paranoid apalagi tidak percaya kepada para ulama jelas tidak berdasar dan mengada-ada. Ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan kegaduhan di masyarakat, jangan sampai disalahtafsirkan,” ujarnya.
Kemenag membuka diri bagi siapa saja yang ingin memahami lebih jauh tentang program ini untuk bertabayyun atau klarifikasi. Jangan kemudian belum memahami tujuan dari program ini kemudian bicara kepada publik dengan tafsirnya sendiri seolah-olah paham dan mengerti.
"Padahal, dia salah dalam menerjemahkan maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut,” kata Kevin.
Kevin menambahkan, gagasan sejenis ini sebelumnya juga digulirkan oleh Bawaslu. Saat Pilkada serentak 2018, Bawaslu menyampaikan agar masjid jangan dijadikan sebagai mimbar politik dan diisi dengan muatan-muatan negatif.
Khutbah harus diisi dengan sesuatu yang menentramkan. Untuk itu, Bawaslu saat itu mengajak pemuka agama untuk bersama-sama menyusun kurikulum materi khutbah yang jauh dari politik, suku, ras, dan agama.