REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Inas Widyanuratikah, Antara
Angka kumulatif kasus konfirmasi positif Covid-19 tembus 516.753 orang per Kamis (26/11) ini. Jumlah ini dicapai dalam kurun waktu nyaris sembilan bulan, sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan pemerintah pada awal Maret lalu.
Jumlah kasus kumulatif yang tinggi ini belum dibarengi dengan pelandaian tren penambahan kasus harian. Sampai saat ini, menurut grafik kasus harian yang dilaporkan Satgas Penanganan Covid-19, trennya terus menanjak. Sempat melandai pada Oktober lalu, namun tren kembali naik setelah libur panjang akhir Oktober-awal November.
Upaya penuntasan pandemi Covid-19 di Indonesia lantas mendapat tantangan baru. Per Januari 2021, pemerintah tak lagi menggunakan pemetaan zonasi risiko sebagai dasar pembukaan sekolah tatap muka. Melalui SKB 4 menteri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran semester genap tahun ajaran 2020/2021, kewenangan izin membuka sekolah tatap muka diberikan kepada pemerintah daerah, kantor wilayah, dan kantor Kementerian Agama yang menaungi instansi pendidikan.
Lantas apakah kebijakan ini justru memberatkan upaya penanganan Covid-19 di Indonesia?
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan, kebijakan terkait pembukaan sekolah tatap muka sudah dipertimbangkan dengan sangat matang. Daerah dianggap paling memahami kondisi dan risiko penularan Covid-19 di wilayahnya.
Wiku pun meyakini, pembukaan sekolah tatap muka tidak akan menjadi ancaman munculnya klaster baru asalkan seluruh daftar periksa dipenuhi. Seperti, pihak sekolah memenuhi ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan seperti toilet yang bersih dan layak. Sekolah juga harus menyediakan fasilitas cuci tangan pakai sabun, hand sanitizer, atau disinfektan.
"Sekolah juga harus mampu mengakses layanan kesehatan terdekat, dan memastikan penerapan wajib masker, memiliki alat pengukur suhu badan," kata Wiku dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Kamis (26/11).
Sekolah juga harus memiliki pemetaan yang rinci mengenai kondisi kesehatan seluruh warga sekolah, terutama apabila ada yang memiliki penyakit bawaan. Pihak sekolah juga perlu menghitung risiko perjalanan pulang pergi seluruh warga sekolah terutama akses transportasi yang aman.
Sekolah pun perlu mencatat riwayat perjalanan warganya yang sempat bepergian dari daerah zona risiko tinggi, dan pemeriksaan rentang isolasi mandiri yang harus diselesaikan. Terakhir persetujuan komite sekolah, orang tua, atau wali.
"Semua ini harus dilakukan dengan melakukan simulasi yang libatkan berbagai pihak mulai dari orang tua, sekolah, dan pemda, sampai dicapai kondisi ideal untuk bisa memulai sekolah itu dibuka untuk tatap muka dan bertahap," kata Wiku.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim juga menekankan keputusan untuk membuka sekolah tatap muka harus mendapatkan keputusan bersama dari pemerintah daerah, kepala sekolah, dan komite sekolah. Ia menambahkan, pemerintah daerah yang terdiri dari kecamatan hingga desa, bisa menilai sendiri mana daerah yang aman.
Apalagi sebagian masyarakat dirasa sulit untuk melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Nadiem pun meminta orang tua agar tidak khawatir ketika sekolah tatap muka dibuka kembali.
Jika orang tua merasa tidak nyaman, ujarnya, sekolah tidak bisa memaksa anaknya masuk ke sekolah. Siswa tersebut bisa melanjutkan belajar melalui PJJ. "Jadi, hybrid model ini akan terus berada. PJJ bukan berarti berakhir," kata Nadiem.
Pembukaan sekolah tatap muka pun tak lantas membuat aktivitas belajar mengajar kembali normal sepenuhnya. Nadiem mengingatkan perlunya pengurangan kapasitas maksimal dalam satu kelas menjadi 50 persen dari angka normal. Pihak sekolah juga harus melakukan penjadwalan kegiatan belajar mengajar.
"Sekolah harus melakukan dua shift minimal, agar bisa mematuhi aturan itu. Masker wajib dikenakan, tidak ada aktivitas selain sekolah, tidak ada kantin lagi, tidak ada ekskul (ekstrakurikuler) lagi, tidak ada olahraga lagi. Tidak ada aktivitas yang di luar lagi, siswa masuk kelas dan setelahnya langsung pulang," kata Nadiem.
Pemerintah daerah diharuskan memenuhi daftar periksa yang ditetapkan satuan pendidikan sebelum sekolah tatap muka. Peraturan tersebut sudah ditetapkan ke dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri yang dirilis pekan lalu.
"Dalam SKB sudah ditetapkan daftar periksa yang harus dipenuhi satuan pendidikan. Apabila pemerintah daerah menilai perlu mengelaborasi maka dimungkinkan dan menjadi kewenangan pemda," kata Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Evy Mulyani, pada Republika, Kamis (26/11).
Ia mengatakan, pemerintah daerah wajib memastikan daftar periksa yang diatur di dalam SKB Empat Menteri terpenuhi. Adapun daftar periksa yang harus dipenuhi satuan pendidikan antara lain adalah ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan, seperti toilet yang layal. Selain itu, sarana cuci tangan dan sabun serta air mengalir harus dipastikan tersedia.
Satuan pendidikan juga harus melakukan pembersihan sekolah dengan disinfektan serta menyediakan hand sanitizer. Selanjutnya, satuan pendidikan wajib mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya.
Pemerintah daerah pun harus mempertimbangkan ketersediaan akses transportasi yang aman dari dan ke satuan pendidikan. Tempat tinggal warga sekolah juga harus dipertimbangkan ketika sekolah tatap muka akan dimulai kembali.
Daftar periksa berikutnya adalah melakukan pemetaan warga satuan pendidikan yang memiliki komorbid tidak terkontrol, tidak memiliki akses transportasi aman, serta memiliki riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat Covid-19 tinggi. "(Semua) daftar periksa ini wajib," kata Evy menambahkan.
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) sudah meminta agar pemerintah daerah dan sekolah segera melaporkan kesiapan pembelajaran tatap muka. Saat ini, persentase sekolah yang melaporkan kesiapan baru mencapai 42,5 persen.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK, Agus Sartono mengatakan penting bagi sekolah untuk melaporkan kesiapan mereka. Sebab, hal ini dapat menjadi dasar pemerintah daerah untuk dilakukan sekolah tatap muka atau tidak.
Kepala Laboratorium Diagnostik dan Riset Terpadu Penyakit Infeksi Kedokteran Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatra Barat (Sumbar), dr. Andani Eka Putra menilai pembukaan kembali kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar oleh pemerintah tidak masalah. "Kami mendapat informasi sekolah dasar kembali dibuka pada awal tahun nanti. Rencana itu tidak masalah," katanya.
Ia mengatakan bagi anak SD tidak akan menjadi masalah kerena dari kasus temuan positif anak-anak tidak ada yang sampai meninggal dunia. "Anak-anak memang ada yang positif tetapi banyak yang tidak ada gejala dan sembuh. Kecuali anak itu ada penyakit bawaan," sebutnya.
Menurutnya, yang akan menjadi masalah itu adalah para guru dan orang tua. Covid-19 yang berbahaya itu lebih rentan menyerang pasien berumur 50 tahun ke atas yang mempunyai penyakit bawaan.
"Meskipun nanti sekolah dibuka kembali harus tetap mematuhi protokol kesehatan dengan memakai masker, sering mencuci tangan dan langsung mencuci baju setelah beraktivitas," ujarnya.
Ia menyebutkan virus Covid-19 itu nyata adanya. Tinggal saat ini bagaimana upaya bersama untuk mengatasi penyebarannya.
"Terpenting sekali selalu memakai masker, sering mencuci tangan dan setiap selesai aktivitas baju yang dipakai direndam pakai deterjen dan upayakan mandi," ujarnya.
Sebab, katanya, penularan virus itu melalui batuk dan bicara partikel liur terlepas dan melalui sentuhan lalu pegang mulut dan hidung. Bahkan partikel virus itu bisa melekat di baju yang dipakai setelah beraktivitas. Makanya pakaian yang dipakai harus dicuci segera.