REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M Isnur, mempertanyakan, urgensi pembentukan Peraturan Presiden (Perpres) Pelibatan TNI dalam Kontraterorisme. Padahal, aturan-aturan turunan setingkat peraturan pemerintah (PP) yang juga diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 saja, belum semuanya dibentuk.
"Di sana sebenarnya ada beberapa mandat yang jadi kewajiban turunan dari UU ini. Di sana setidaknya ada sembilan peraturan turunan," ujar Isnur dalam diskusi "Pelibatan TNI dalam Kontraterorisme" yang digelar Universitas Mataram bersama Maeapi Consulting & Advisory secara daring, Kamis (26/11).
Dia memaparkan, kesembilan aturan turunan itu. Pertama, PP tentang penyidik, penuntut hukum, hakim, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya. Kedua, PP tentang tata cara permohonan, penentuan jumlah kerugian, pembayaran kompenasi dan restitusi. Ketiga, PP tentang kesiapsiagaan nasional. Keempat, PP tentang cara pelaksanaan kontra radikalisasi.
Kelima, PP tentang deradikalisasi. Keenam, Pepres tentang susunan organisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Ketujuh. Perpres tentang pelibatan TNI mengatasi aksi terorisme. Kedelapan, PP tentang tata cara pengajuan permohonan korban terorisme. Terakhir, peraturan DPR tentang Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme.
"Jadi cukup banyak mandat turunan UU ini. Nah, tapi sudah dua tahun UU ini berlangsung sampe hari ini baru satu PP turunan yang diberlakukan, yaitu PP Nomor 77 Tahun 2019," kata dia.
Dia menjelaskan, berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011, kedudukan PP lebih tinggi daripada Perpres. Karena itu, dia mempertanyakan, urgensi lebih didahulukannya pembentukan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ketimbang pembentukan PP-PP yang juga seharusnya dibentuk sebagai mandat UU Nomor 5 Tahun 2020.
"Nah yang lainnya belum ada nih. Kita juga bertanya sebetulnya PP-PP yang lain belum dibuat, tapi malah didahulukan Perpres. Seharusnya, menurut kami, sebaiknya ini diselesaikan dulu PP yang lain agar tahapan-tahapannya menjadi lebih sistematis pembahasannya," kata dia.
Sebelumnya, Wakil Koordinator KontraS, Feri Kusuma, mengatakan, rancangan Perpres pelibatan TNI dalam kontraterorisme bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang dicanangkan pada 2015. Dia melihat, hal itu dari tiga fungsi TNI dalam rancangan Perpres tersebut yang berpotensi menyebabkan tumpang tindih wewenang.
"Dari aspek reformasi birokrasi TNI sendiri, yang dicanangkan pada 2015 dan agendanya itu sampai tahun 2025, itu juga bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi," ujar Feri, Selasa (17/11).
Salah satu agenda reformasi birokrasi itu terkait tumpang tindih tugas dan fungsi. Menurut dia, fungsi pencegahan, penindakan, dan pemulihan yang ada di dalam rancangan Perpres itu berpotensi tumpang tindih dengan tugas dan fungsi lembaga negara lain seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Masalahnya, di dalam pemerintahan saat ini masih ada orang-orang (yang) paradigmanya itu menyeret kembali imajinasi kita ke era sebelum 98, ingin menyeret kembali, memberikan peran kepada TNI seperti ketika sebelum 98. Ketika belum ada pemisahan antara badan-badan pemerintah," kata dia.
Menurutnya, kalaupun rancangan Perpres itu tetap dipaksakan untuk dibuat sebagai bentuk delegasi dari UU Nomor 5 Tahun 2018, maka tugas TNI harus diperjelas. Dia memberi masukan, yakni TNI semestinya cukup diberikan fungsi penindakan. Dalam pelaksanaan fungsi itu pun harus jelas langkah operasional penindakannya.
"Kapan, dalam waktu seperti apa dengan ekslakasi bagaimana TNI itu dilibatkan dalam penindakan. Itu harus jelas. Jadi harus dirinci lebih operasional dalam rancangan Perpres ini. Itu yang harus diatur lebih jauh supaya tidak berdampak pada persoalan-persoalan lain," kata dia.