REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Badan PBB untuk pengungsi Palestina, UN Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA) untuk pertama kalinya dalam sejarah kehabisan uang hingga akhir tahun. Badan tersebut melayani sekitar 5,6 juta pengungsi Palestina.
UNRWA kini bergantung pada dana dari negara-negara anggota PBB dan Uni Eropa. Namun dana itu juga sudah sangat menipis selama bertahun-tahun.
Komisaris Jenderal UNRWA Philip Lazzarini mengatakan, bahwa pihaknya terancam ambruk dan berada di tepi jurang. "Tapi saya masih yakin kita bisa menghindari kejatuhan ini. Kita tidak akan terjerembab jika sekarang solidaritas masyarakat internasional diekspresikan," ujarnya seperti dikutip laman Aljazirah, Jumat (27/11).
Badan tersebut perlu mengumpulkan sekitar 70 juta dolar AS pada akhir November ini atau tidak akan dapat membayar gaji penuh ribuan karyawan. UNRWA telah menginformasikan seluruh tenaga kerjanya yang terdiri dari 28 ribu orang bahwa mereka akan dipaksa untuk menangguhkan gaji mereka selama sisa tahun ini.
Lazzarini mengatakan, UNRWA telah menerima kontribusi terendah tahun ini sejak 2012, pada saat kebutuhan pengungsi diperparah oleh efek pandemi Covid-19. UNRWA juga memperingatkan sistem kesehatan di Gaza akan runtuh karena pandemi virus Corona.
UNRWA juga mengatakan sebagian besar pekerja yang terkena dampak adalah pengungsi itu sendiri. Pemotongan tersebut akan memengaruhi karyawan di negara-negara di Timur Tengah. UNRWA didirikan untuk membantu 700 ribu warga Palestina yang melarikan diri atau dipaksa pergi dari rumah mereka selama perang seputar pendirian Israel pada 1948.
Badan yang didirikan 70 tahun itu memberikan pendidikan, perawatan kesehatan, makanan dan bantuan lainnya untuk sekitar 5,5 juta pengungsi dan keturunan mereka di Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang terkepung, serta Yordania, Suriah dan Lebanon.
Keuangan UNRWA juga telah dirusak oleh keputusan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memangkas bantuan ratusan juta dolar, serta krisis kepercayaan setelah komisaris jenderal sebelumnya dituduh menyalahgunakan otoritasnya.