REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizhah, Nawir Arsyad Akbar, Antara
Edhy Prabowo sudah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan setelah ditangkap Rabu (25/11) dini hari di Bandara Soekarno Hatta. Siapa sosok pengganti Edhy, hingga kini belum ada kepastian.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, memperkirakan pengganti Edhy akan tetap berasal dari Partai Gerindra. Di partai pimpinan Prabowo tersebut, Edhy juga telah mengundurkan diri sebagai Wakil Ketua Umum.
Prediksi Ujang kalau pengganti Edhy akan tetap berasal dari Gerindra karena partai tersebut memiliki jatah dua kursi di Kementerian. Hal tersebut sesuai perjanjian antara Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat Pilpres kemarin.
"Saya melihatnya gini ada perjanjian yang dibangun oleh Jokowi dan Prabowo saat Pilpres kemaren. Partai Gerindra dapat jatah dua kursi. Nah, Prabowo jadi Menhan dan Edhy Menteri KKP. Tapi Edhy ditangkap KPK kan. Siapa yang gantikan? Saya punya keyakinan jatah itu diberikan ke partai Gerindra karena terkait kesepatan awal tersebut," katanya saat dihubungi Republika, Jumat (27/11).
Tapi jatah Menteri KKP bisa saja tidak diberikan ke Gerindra jika Jokowi mengubah komitmen tersebut dan memberikan kursi kosong terhadap partai lain. Konsekuensinya, perang dingin antara kedua tokoh tersebut muncul dan kabinet tidak berjalan kompak.
"Kalau Jokowi mengubah hal itu. Prabowo bisa dibenci oleh para pendukungnya. Ya sudah keduanya jadi tidak kompak. Hal itu sepertinya dihindari Jokowi," kata dia.
Jokowi harus segera memutuskan siapa yang menjadi Menteri KKP, jangan mengulur waktu. "Diputuskan saja siapa yang jadi Menteri KKP. Apa sedang menunggu laporan dari Luhut tentang kelemahan Gerindra? Atau bisa saja Jokowi memindahkan Gerindra di kementerian yang lain? Ya ditunggu saja keputusan Jokowi," kata dia.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiarti, mengatakan tertangkapnya Edhy dapat menjadi momentum Presiden untuk merombak atau reshuffle kabinetnya. Mengingat sejumlah menteri juga mendapat sorotan selama setahun lebih ini.
"Dengan kosongnya kursi menteri maka reshuffle tidak dapat dihindarkan, pasti terjadi," ujar Aisah, Jumat (27/11).
Namun proses reshuffle dinilainya tak akan segera terjadi, karena Jokowi perlu mengevaluasi jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju. Terlebih hal tersebut membutuhkan komunikasi dengan partai-partai pendukungnya.
Jika reshuffle terjadi, jatah untuk Partai Gerindra bisa jadi kembali mengisi posisi Menteri Kelautan dan Perikanan. Atau mengisi kursi menteri lain yang dirombak oleh Jokowi.
"Bisa jadi pengganti Menteri KKP bukan dari Gerindra, tetapi ada peluang besar kader Gerindra akan mengisi ruang lain di dalam kabinet," ujar Aisah.
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Daniel Johan, mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu diisi oleh sosok yang memperhatikan nelayan. Sang menteri harus dapat mengangkat harkat, martabat, dan penghidupan nelayan maupun industri perikanan.
"Meraka harus benar-benar diperhatikan agar hidupnya lebih baik dan terangkat dari kemiskinan," ujar Daniel.
Meski begitu, Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu yakin Jokowi akan menunjuk orang yang tepat untuk menggantikan Edhy. "Kita serahkan ke Presiden Jokowi, itu wewenang utuh presiden. Yang utama bisa sungguh-sungguh bekerja," ujar Daniel.
Selain Edhy Prabowo, ada enam orang lainnya yang turut ditetapkan sebagai tersangka, seorang di antaranya adalah pemberi suap. Mereka adalah staf khusus Edhy Prabowo, Safri Muis, pengurus PT Aero Citra Kargo, Siswadi, staf istri Menteri KP, Ainul Faqih, Amiril Mukminin, staf khusus Edhy, Andreau Pribadi Misanta, dan Direktur PT Dua Putra Perkasa, Suharjito.
Berdasarkan laporan KPK, Edhy Prabowo menerima suap dari Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama, Suharjito. Tujuannya agar perusahaan Suharjito ditetapkan sebagai eksportir benih lobster melalui forwarder, PT Aero Citra Kargo (PT ACK).
Perusahaan ini merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sehingga, sejumlah perusahaan eksportir benih lobster harus menggunakan jasa PT ACK dengan tarif Rp 1.800 per benih.
Perusahaan-perusahaan yang berminat kemudian mentransfer uang kepada PT ACK dengan total Rp 9,8 miliar. Uang tersebutlah yang diduga kuat, dijadikan suap untuk Edhy Prabowo diberikan. Berdasarkan temuan KPK, Edhy menerima Rp 3,4 miliar dari PT ACK beserta 100 ribu dolar AS atau setara Rp 1,41 miliar dari Suharjito. Sehingga, total yang ia terima sebesar Rp 4,8 miliar.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan izin terkait ekspor benih lobster telah bermasalah sejak awal sehingga KPK juga perlu mengusut perusahaan lain yang menjadi penerima izin ekspor benih lobster. "Pemberian izin ekspor benih lobster sangat-sangat bermasalah sejak dari awal, khususnya ketiadaan transparansi dan akuntabilitas," kata Sekjen Kiara Susan Herawati dalam keterangan.
Susan mengingatkan bahwa Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pernah mengingatkan dalam kebijakan pemberian izin ekspor lobster ini terdapat banyak potensi kecurangan. Bahkan, lanjut Susan, ORI menyebut bahwa izin ekspor benih lobster itu bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia. "Sayangnya, Edhy Prabowo tidak mendengarkan penilaian tersebut," ungkapnya.
Susan mendesak KPK untuk melakukan penyelidikan dan pengusutan lebih dalam kepada sejumlah perusahaan yang telah melakukan ekspor benih lobster berdasarkan izin yang telah diberikan oleh Edhy Prabowo. Hal tersebut, lanjutnya, karena setidaknya telah ada sembilan perusahaan yang melakukan ekspor benih lobster per Juli 2020.
Bagi Susan, mekanisme pemberian izin ekspor bagi 9 perusahaan ini, wajib diselidiki terus oleh KPK. Sekjen Kiara mengapresiasi langkah-langkah cepat yang diambil oleh KPK dalam merespons kasus ini.
Kemarin, KKP melalui Surat Edaran Nomor: B. 22891 IDJPT/Pl.130/Xl/2020 menyatakan menghentikan sementara penerbitan Surat Penetapan Waktu Pengeluaran (SPWP) terkait ekspor benih bening lobster. "Terhitung surat edaran ini ditetapkan, penerbitan SPWP dihentikan hingga batas waktu yang tidak ditentukan," sebagaimana tercantum dalam SE yang ditandatangani oleh Plt Dirjen Perikanan Tangkap, Muhammad Zaini di Jakarta, 26 November 2020.
Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa langkah kebijakan penghentian sementara itu adalah dalam rangka memperbaiki tata kelola pengelolaan benih bening lobster (BBL) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMENKP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Ponunus spp.) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia serta mempertimbangkan proses revisi Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kemudian, disebutkan pula bahwa bagi perusahaan eksportir yang memiliki BBL dan masih tersimpan di packing house per tanggal surat edaran ini ditetapkan, diberikan kesempatan untuk mengeluarkan BBL dari Negara Republik Indonesia paling lambat satu hari setelah surat edaran ini ditetapkan.
Surat Edaran tersebut ditujukan kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota; Ketua Kelompok Usaha Bersama Penangkap Benih Bening Lobster; serta Eksportir Benih Bening Lobster. Tembusan dari surat tersebut adalah kepada Menteri Kelautan dan Perikanan RI Ad. Interim; Sekretaris Jenderal KKP; Inspektur Jenderal KKP; Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan; dan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan.