Jumat 27 Nov 2020 16:18 WIB

Risiko NPF Bayangi Bank Syariah Hasil Merger

Manajemen bank syariah hasil merger harus segera berbenah pasca-Februari nanti.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolandha
Merger bank syariah BUMN
Foto: Tim infografis Republika
Merger bank syariah BUMN

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank BUMN syariah hasil merger diharapkan segera tancap gas pasca efektif terbentuk pada Februari 2021 mengingat masih adanya tantangan peningkatan risiko yang dihadapi lembaga keuangan syariah akibat pandemi Covid-19. Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah Mukhaer Pakkanna mengatakan, masalah yang akan dihadapi bank syariah hasil merger adalah efek samping pandemi Covid-19. 

"Dampak pandemi masih akan dirasakan industri perbankan tahun depan dan manajemen bank Syariah hasil merger langsung dihadapkan kepada masalah yang sangat serius dan bersifat extraordinary, uncertainty, complexity dan unprecedented yaitu pandemi Covid-19 yang multiplier effect-nya sangat besar," katanya kepada wartawan, Jumat (27/11).

Baca Juga

Karena itu, manajemen harus mulai melakukan review dan revisi target pertumbuhan sama seperti perbankan yang lain. Dia berkata, pandemi Covid-19 meningkatkan risiko yang dihadapi lembaga-lembaga keuangan syariah. Berupa terbukanya potensi kenaikan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF).

Untuk menghadapi risiko tersebut, manajemen bank syariah hasil merger harus segera berbenah pasca-Februari nanti. Harapannya, pembenahan bisa membuat bank hasil merger bertahan selama pandemi, dan segera bangkit setelah musibah ini usai.

"Kenaikan risiko terhadap perbankan syariah tersebut dalam bentuk NPF akan menjadi salah satu yang menentukan kemampuan untuk bisa bertahan dan segera bangkit," ujarnya.

Mukhaer juga menegaskan, gerak cepat manajemen baru dibutuhkan agar harapan masyarakat atas terbentuknya bank hasil merger bisa segera terjawab. Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta ini menyebut, ada harapan besar dari publik agar kedepannya Indonesia memiliki bank syariah besar dan bertaraf internasional dari merger yang tengah berlangsung.

Dengan merger ini Indonesia akan memiliki entitas bank syariah sebesar Dubai Islamic Bank di Uni Emirat Arab (UEA). Data menyebutkan, Dubai Islamic Bank mampu menarik sebanyak 55 persen konsumen perbankan di UEA pada 2019. Persentase ini naik dibandingkan pada 2015 yang hanya 47 persen.

Sekadar catatan, bank tersebut mampu bersaing dengan bank konvensional dengan lini bisnis multi dimensi. Jumlah nasabah yang non-muslim pun sangat banyak yang menunjukkan bank bersih, transparan dan sangat kompetitif dalam bersaing dengan bank konvensional.

Karena itu, yang utama dari merger bank syariah itu adanya penerapan prosedur baru yang menjamin perbaikan pelayanan pada nasabah, serta azas keterbukaan dan transparansi dalam pengelolaan dana. Terpisah, Peneliti Ekonomi Syariah Indef Fauziah Rizki Yuniarti berharap bank syariah hasil merger bisa memiliki produk bertarif murah untuk nasabah.

Selain itu juga bisa memperbesar pagu pembiayaan untuk sektor UMKM serta pengembangan Bank Wakaf Mikro (BWM). Menurut Fauziah, bank syariah hasil merger berpeluang memiliki tarif pembiayaan murah karena besarnya modal yang entitas ini miliki. Modal yang besar memperluas kemungkinan bank ini berhasil menarik dana murah dari publik.

Saat ini PBI No. 17/12/PBI 2015 mensyaratkan pembiayaan perbankan syariah ke UMKM minimum 20 persen dari total pembiayaan. Namun menurutnya, bank-bank syariah hanya berusaha sebatas memenuhi angka persyaratan tersebut.

Peningkatan porsi pembiayaan ke UMKM wajib masuk ke Rencana Bisnis Bank Syariah BUMN sehingga tidak sekedar memenuhi persyaratan minimum Bank Indonesia di 20 persen. Ini juga akan menjawab keraguan masyarakat bahwa Bank Syariah BUMN hanya fokus ke konglomerat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement