REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kiamat merupakan suatu hal yang gaib yang perlu dipercaya umat Islam. Manusia hanya diberitahu mengenai tanda-tanda kiamat yang berupa sugra maupun kubra, namun tidak diberitahu kapan terlaksananya kiamat itu, mengapa demikian?
Dalam buku Prediksi Akhir Zaman karya Muhammad Abduh Tuasikal dijelaskan, agar kiamat masih tetap menjadi perkara yang gaib maka Allah merahasiakan waktu pasti terjadinya kiamat. Seandainya waktu pasti kiamat itu diberitahu kepada makhluk, maka perkara tersebut tidaklah menjadi perkara yang gaib.
Padahal ciri dari orang beriman yang membedakannya dengan orang kafir adalah beriman pada yang gaib. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 3 berbunyi: “Alladzina yu’minuna bil-ghaibi wa yuqimuna as-shalaata wa mimma razaqnaahum yunfiquna,”.
Yang artinya: “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka,”.
Selanjutnya, alasan Allah merahasiakan waktu pasti kiamat adalah agar manusia tidak mengulur-ngulur waktu untuk beriman dan beramal shaleh. Sebab jika manusia telah diberitahu kapan waktu kiamat terjadi, maka akan terjadi penundaan terhadap amal shaleh dan akan terus bersantai dalam hidup jika ia tahu bahwa kiamat masih 100 tahun lagi datangnya.
Kemudian jika seseorang mengetahui bahwa kiamat akan terjadi pekan depan, maka ia akan bertaubat dan beribadah lebih cepat karena ia tahu hidupnya akan berakhir singkat. Dari kecenerungan kedua sikap manusia inilah maka Allah SWT merahasiakan waktu pasti terjadinya kiamat dari setiap makhluk.
Karena tidak ada satu pun yang mengetahui kapan kiamat itu akan terjadi, maka disarankan agar setiap umat Islam mampu mempersiapkan diri sebaik mungkin. Bukan justru menyibukkan diri untuk memprediksi kehadiran kiamat. Terbukti, beberapa fenomena orang-orang yang memprediksi kiamat yang pernah ada semuanya hanyalah isapan jempol semata.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib memberi petuah tentang apa yang perlu dipersiapkan manusia sebagai bekal menghadap Illahi. Beliau berkata: “Arhalati ad-dunya mudbiratan, wartahalatil-aakhiratu muqbilatan, walikulli minhuma banuuna fakuunu min abna-I al-akhirati, wa la takunuu min abna-I ad-dunya, fa inna al-yauma amalun wa laa hisaaba, wa ghadan hisaabun wa laa amala,”.
Yang artinya: “Dunia itu akan ditinggalkan di belakang. Sedangkan akhirat akan berada di hadapan kita. Dunia dan akhirat tersebut memiliki anak. Maka Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan dan bukanlah hari beramal,”.