REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN— Pakar nuklir Iran yang di negara Barat dianggap otak program nuklir Teheran dibunuh pada Jumat (27/11) malam. Pembunuhan ini dinilai akan meningkatkan konfrontasi antara Iran dengan Amerika Serikat (AS) sebelum Donald Trump menyelesaikan masa jabatannya.
Media Iran melaporkan, Mohsen Fakhrizadeh yang diserang kelompok bersenjata di Teheran meninggal di rumah sakit. Peristiwa ini memperumit upaya presiden terpilih Joe Biden mengembalikan kebijakan luar negeri Barack Obama yang tenang.
Iran menuduh Israel sebagai dalang pembunuhan tersebut dan mengisyaratkan pemerintahan Trump mengizinkannya. Sabtu (28/11) Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif menulis di Twitter 'indikasi serius menunjukkan peran orang Israel'.
Penasihat militer Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei bersumpah akan 'menyerang seperti guntur para pelaku pembunuhan martir yang tertindas'. Di Twitter Hossein Dehghan mencicit di hari-hari terakhir pemerintahan Trump, para sekutu Zionisnya meningkatkan tekanan pada Iran dan memicu perang besar-besaran'.
Salah satu saluran di aplikasi kirim pesan terenkripsi, Telegram yang berafiliasi dengan Garda Revolusi Iran melaporkan Dewan Tertinggi Keamanan Iran menggelar rapat darurat dengan komandan-komandan militer negara itu. Israel, Gedung Putih, Pentagon, CIA dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menolak memberi komentar.
Selama bertahun-tahun badan intelijen negara-negara Barat dan Israel menggambarkan Fakhrizadeh sebagai ketua program bom atom Iran yang misterius. Sejak 2003 Iran sudah menghentikan program tersebut.
Tapi Israel dan Amerika Serikat menuduh Iran memulainya lagi. Sementara Iran selalu membantah tuduhan menggunakan nuklir sebagai senjata.
"Sayangnya tim medis tidak berhasil menyelamatkan (Fakhrizadeh) dan beberapa menit yang lalu, manajer dan ilmuwan itu meraih status tinggi sebagai syahid setelah perjuangan dan kerja keras selama bertahun-tahun," kata angkatan bersenjata Iran dalam pernyataannya.
Kantor berita semi resmi Iran, Tasmin melaporkan 'teroris meledakan mobil lainnya' Sebelum menembaki mobil Fakhrizadeh dan pengawalnya dalam serbuan di luar Ibu Kota Teheran. Menurut saksi mata, setelah itu muncul pasukan keamanan menghentikan mobil untuk mencari pembunuhnya. Trump yang kalah dalam pemilihan presiden 3 November lalu akan meninggalkan Gedung Putih 20 Januari 2021. Namun dia mengeluarkan Amerika Serikat dari kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang dibentuk Obama. Dia menerapkan kembali sanksi keras terhadap Iran.
Biden mengatakan dia akan ingin membawa kembali Amerika Serikat bergabung dengan JCPOA. Banyak pakar yang menilai hal itu akan sulit untuk dilakukan.
Mantan penasihat Obama dalam isu Iran dan penasihat informal tim transisi Biden, Robert Malley, yakin pembunuhan Fakhrizadeh salah satu langkah Trump di pekan-pekan terakhirnya berkuasa untuk mempersulit diplomasi Biden dengan Iran.
"Satu tujuan hanyalah menciptakan kerusakan terhadap ekonomi dan program nuklir Iran sebanyak mungkin yang mereka bisa, dan lainnya untuk mempersulit kemampuan diplomasi Presiden Biden dan bergabung kembali ke kesepakatan nuklir," kata Malley.
Dia menambahkan tidak akan berspekulasi siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan Fakhrizadeh. Pada awal bulan ini militer Amerika Serikat mengkonfirmasi Amerika Serikat meminta rencana kemungkinan menyerang Iran.
Trump memutuskan tidak melakukannya karena khawatir dapat memicu konflik di Timur Tengah lebih luas lagi. Pada bulan Januari lalu Trump memerintahkan serangan drone ke bandara Baghdad, Iran yang menewaskan komandan militer Iran Jenderal Qassem Soleimani.
Soleimani, komandan militer Iran yang paling berpengaruh di Iran. Negara itu membalasnya dengan menembak pangkalan militer Amerika Serikat di Irak dengan rudal.
"Pembunuhan ini tidak membuat Amerika, Israel atau dunia menjadi tempat yang lebih aman," celoteh Senator Amerika Serikat Chris Murphy, anggota sub komite isu Timur Tengah di Senat mengenai pembunuhan Fakhrizadeh.