REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir mengatakan, hal yang menantang di era revolusi teknologi adalah dimana urusan metafisik, yang selama ini dikaitkan dengan asas agama, mulai dialihkan ke urusan teknologi melalui rekayasa genetik.
"Jika dulu kematian dikaitkan dengan takdir sang kuasa, kini sains dan teknologi, melalui rekayasa genetik sampai rekayasa kehidupan, terancam menggeser posisi aspek ketuhanan," ujar KH Haedar dalam sambutannya di Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31, Ahad (29/11).
Dampak yang akan hadir ini disebut sekularisasi dimana persoalan hidup dan mati hanya sebatas persoalan teknis dan teknologi bukan lagi persoalan metafisik. Tantangannya adalah apakah Islam bisa menjadi solusi atas risiko kemajuan zaman yang canggih ini.
"Poin pentingnya adalah, pemahaman yang serba hitam putih tidak cukup memadai untuk memahami segala kemajuan kehidupan di era revolusi teknologi ini," ujarnya.
Tak dapat ditampik era postmodernisme membawa banyak perubahan dalam kehidupan dimana sisi realitas dan spiritualitas manusia saling bersaing. Salah satu fenomena yang terjadi di era ini adalah ketika seseorang ingin tetap beragama namun dia tidak ingin menunjukkan mengikatkan diri dengan syariat agama yang mengekang dan penuh dogma.
Atau sebaliknya saat seseorang memiliki dogmatisme kental, sehingga menolak segala bentuk modernitas dan teknologi yang menurutnya bertentangan dengan paradigma keagamaan. Contohnya ketika Majelis Tarjih mengeluarkan ijtihad untuk beribadah di rumah karena pandemi yang sifatnya darurat, namun masih banyak masyarakat yang pro kontra atas keputusan tersebut.
"Dari realitas seperti ini maka akan muncul ketidakpastian nilai, konflik terjadi dimana-mana. Maka Muhammadiyah diharapkan bisa terus berada digaris depan dalam memberi solusi atas masalah bangsa. Saya yakin Munas ini akan menghasilkan keputusan yang menjadi solusi atas persoalan yang ada," ujarnya.