REPUBLIKA.CO.ID, KOPENHAGEN -- Parlemen Denmark diperkirakan akan segera memberikan suara pada mosi larangan praktik sunat. Hal ini dijelaskan oleh Direktur Urusan Yahudi Komite Internasional Yahudi Amerika, Rabbi Andrew Baker dalam tulisannya di Religion News Service pekan ini.
Menurutnya, Finlandia dan Belgia juga sedang mempertimbangkan undang-undang serupa. Dalam beberapa tahun terakhir, legislator dan aktivis di Islandia, Jerman, dan Swedia juga telah berusaha melarang praktik tersebut.
Baker menuturkan sebagian besar larangan beralasan sunat adalah tindakan penodaan dan mutilasi. "Bahkan, beberapa membandingkannya dengan mutilasi alat kelamin perempuan, prosedur biadab yang dilarang di sebagian besar negara," tulisnya, dilansir di Aleteia, Sabtu (28/11).
Meskipun sunat medis pada bayi adalah hal yang umum di Amerika, praktik ini jauh lebih jarang di Eropa. Namun dalam komunitas Yahudi dan Muslim, sunat dianggap sebagai kewajiban agama.
Tetapi, orang Eropa dan Barat yang sangat sekuler cenderung memandang agama terorganisir dengan skeptisisme dan bahkan meremehkan. Baker juga yakin permusuhan anti-Muslim memainkan peran dalam kampanye anti-sunat saat ini.
“Politikus yang memimpin dakwaan di Parlemen Finlandia adalah anggota partai nasionalis sayap kanan yang terkenal menyerang Muslim tetapi dengan sedikit minat pada hak-hak anak,” tulisnya.
Gereja-gereja di Eropa telah berbicara menentang proposal tersebut. Dua tahun lalu, ketika Islandia sedang mempertimbangkan undang-undang semacam itu, Dewan Konferensi Wali Gereja Eropa (CCEE) mengeluarkan pernyataan yang mengatakan langkah itu merupakan pelanggaran terhadap HAM.
“Tidak hanya merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang fundamental atas Kebebasan beragama atau berkeyakinan, tetapi juga akan juga dianggap sebagai sinyal bahwa orang-orang dengan latar belakang Yahudi atau Muslim tidak lagi diterima di Islandia," kata Baker dalam laporannya.
Presiden CCEE Kardinal Angelo Bagnasco mengatakan Gereja Katolik secara khusus berkomitmen membela hak-hak anak, yang juga termasuk hak dan kewajiban keluarga mendidik anak-anak mereka sesuai keyakinan agama mereka sendiri. "Inisiatif ini bertentangan dengan kebebasan beragama dan prinsip demokrasi yang sesuai untuk masyarakat sipil," katanya.
Tahun lalu, Gereja Swedia menyuarakan dukungan untuk komunitas Yahudi dan Muslim dalam perjuangan mereka melawan larangan sunat yang diusulkan. Baik Swedia maupun Jerman mengadopsi undang-undang kompromi yang memberlakukan beberapa persyaratan yang mengatur prosedur dan memberikan pengawasan medis tambahan, sambil tetap mengizinkan sunat dilakukan di rumah ibadah atau keluarga.