REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kembali mengomentari fenomena meningkatnya Islamofobia di Eropa. Dia menekankan bahwa menghina kepercayaan orang lain tidak ada hubungannya dengan kebebasan berbicara.
"Anda telah mengikuti secara dekat penghinaan di Prancis terhadap Nabi (Muhammad) di bawah label kebebasan berpikir. Menghina tokoh suci orang jauh dari kebebasan. Karena pikiran berbeda, penghinaan itu berbeda," kata Erdogan saat memberikan pesan pada konvensi tahunan ke-23 Muslim American Society pada Sabtu (28/11), dikutip laman Middle East Monitor.
Menurut dia, fanatisme ideologis telah mendapatkan lebih banyak landasan. Mereka yang mendorong penghinaan terhadap nabi dan mengabaikan serangan terhadap masjid berusaha menyembunyikan fasismenya.
Erdogan menyebut kalangan demikian menggunakan dalih kebebasan berpikir dan pers untuk menyerang nilai-nilai sakral atau suci. Di sisi lain, mereka tidak bisa mentoleransi kritik sekecil apa pun terhadap kelompoknya sendiri.
"Budaya rasialisme, diskriminasi, dan intoleransi telah mencapai tingkat yang tidak dapat disembunyikan di negara-negara yang selama bertahun-tahun telah dipuji sebagai tempat lahir demokrasi," kata Erdogan.
Dia menilai, marginalisasi umat Islam karena kepercayaan, bahasa, nama, dan pakaian mereka telah menjadi praktik lumrah di banyak negara. Kendati demikian, Erdogan menekankan bahwa Turki akan terus berupaya mencegah konflik etnis dan berbasis sekte.
"Kami berusaha mengikuti kebijakan yang seimbang, adil, dan percaya diri yang akan menjadi teladan bagi seluruh umat manusia, terutama terkait kebebasan beragama. Kami tidak mencampuri kepercayaan atau gaya hidup siapa pun, dan kami menjamin kebebasan beribadah semua warga kami yang tinggal di negara ini," kata Erdogan.