Senin 30 Nov 2020 10:50 WIB

Twitter Tangguhkan Akun Buzzer Monarki Thailand

Akun yang dipermasalahkan ditangguhkan karena melanggar aturan spam dan manipulasi.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
 Para pendukung monarki Thailand mengibarkan bendera negara saat mereka berkumpul di dekat parlemen di Bangkok, Thailand, Selasa, 17 November 2020. Medan pertempuran politik Thailand pada Selasa bergeser ke Parlemen negara, di mana anggota parlemen sedang mempertimbangkan proposal untuk mengubah konstitusi negara, salah satunya tuntutan inti dari gerakan prodemokrasi yang dipimpin mahasiswa di negara itu.
Foto: AP/Sakchai Lalit
Para pendukung monarki Thailand mengibarkan bendera negara saat mereka berkumpul di dekat parlemen di Bangkok, Thailand, Selasa, 17 November 2020. Medan pertempuran politik Thailand pada Selasa bergeser ke Parlemen negara, di mana anggota parlemen sedang mempertimbangkan proposal untuk mengubah konstitusi negara, salah satunya tuntutan inti dari gerakan prodemokrasi yang dipimpin mahasiswa di negara itu.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK - Twitter menangguhkan akun pro-royalis Thailand yang terkait dengan istana. Akun itu diduga terkait dengan ribuan akun lainnya yang dibuat dalam beberapa pekan terakhir untuk menyebarkan unggahan yang mendukung Raja Maha Vajiralongkorn dan monarki.

Tinjauan Reuters menemukan puluhan ribu cicitan di Twitter yang menurut seorang ahli berasal dari akun yang memperkuat pesan royalis dalam upaya untuk melawan gelombang protes. Dokumen pelatihan militer internal yang ditinjau oleh Reuters juga menunjukkan bukti kampanye informasi terkoordinasi yang dirancang untuk menyebarkan informasi yang menguntungkan dan mendiskreditkan lawan.

Baca Juga

Akun pro-monarki @jitarsa_school ditangguhkan setelah Reuters meminta komentar pada Rabu dari Twitter mengenai kampanye royalis baru-baru ini di platform media sosial. Sebab para pengunjuk rasa telah lama memiliki kehadiran yang kuat.

Para pengunjuk rasa dan royalis telah mengutip pentingnya media sosial dalam mendorong gerakan protes. Unjuk rasa ini telah menjadi tantangan terbesar dalam beberapa dekade bagi monarki serta pemerintahan mantan pemimpin militer Prayut Chan-o-cha.

Dibuat pada September, akun @jitarsa_school memiliki lebih dari 48 ribu pengikut sebelum ditangguhkan. "Akun yang dipermasalahkan ditangguhkan karena melanggar aturan kami tentang spam dan manipulasi platform," kata seorang perwakilan Twitter, Ahad (29/11) dilansir laman Channel News Asia. 

Dia mengatakan penangguhan itu sejalan dengan kebijakan perusahaan dan bukan akibat permintaan komentar Reuters. Profil akun tersebut mengatakan bahwa akun melatih orang untuk program Relawan Kerajaan, yang dijalankan oleh Kantor Kerajaan. 

Halaman Facebook untuk Royal Volunteers School, yang mengunggah video pro-monarki dan berita program, juga mengidentifikasi akun Twitter sebagai miliknya. Baik sekolah maupun markas besar Relawan Kerajaan tidak menanggapi permintaan komentar tentang penangguhan tersebut.  

Program "Volunteer Spirit 904" didirikan pada masa pemerintahan raja saat ini, yang dimulai pada 2016, untuk membangun loyalitas kepada monarki. Namun demikian hingga kini Istana tidak menanggapi permintaan komentar.

Mereka memiliki kebijakan untuk tidak berbicara dengan media dan belum berkomentar sejak dimulainya protes pada Juli yang awalnya menargetkan pemerintah sebelum melanggar tabu dengan menyerukan pembatasan pada kekuasaan raja.

Dalam beberapa pekan terakhir, tagar royalis mulai menjadi tren di Twitter, platform penting bagi penentang pemerintah bahkan sebelum protes dimulai pada Juli. Analisis Reuters menemukan lebih dari 80 persen akun yang mengikuti @jitarsa_school juga telah dibuat sejak awal September. 

Sampel 4.600 akun yang baru-baru ini dibuat menunjukkan bahwa yang mereka lakukan hanyalah mempromosikan tagar royalis sebagai indikasi jenis aktivitas yang tidak akan dikaitkan dengan pengguna Twitter biasa. Sampel 559 retweet dari tweet akun tersebut hampir semuanya dari akun dengan karakteristik.

"Pasukan pemerintah telah berusaha untuk melawan para pengunjuk rasa," kata Saijai Liangpunsakul dari kelompok Pemantauan Media Sosial independen untuk Perdamaian. "Twitter telah menghapus beberapa akun, tetapi masih banyak lagi," ujarnya menambahkan.

Tagar yang dipromosikan oleh akun yang ditangguhkan, biasanya di samping foto raja dan bangsawan lainnya, termasuk yang diterjemahkan sebagai: #StopViolatingTheMonarchy, #ProtectTheMonarchy, #WeLoveTheMotherOfTheLand, #WeLoveTheMonarchy, dan #MinionsLoveTheMonarchy.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement