Senin 30 Nov 2020 12:57 WIB

Ekonomi Menguat, Obligasi dan Saham Diperkirakan Terkerek

IHSG akan berada pada level 6.800 pada tahun depan.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolandha
Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) memperkirakan produk investasi obligasi dan saham bakal terkerek pada 2021. Hal tersebut tercermin dari sejumlah sinyal penguatan ekonomi dalam negeri, salah satunya tren kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA
Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) memperkirakan produk investasi obligasi dan saham bakal terkerek pada 2021. Hal tersebut tercermin dari sejumlah sinyal penguatan ekonomi dalam negeri, salah satunya tren kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) memperkirakan produk investasi obligasi dan saham bakal terkerek pada 2021. Hal tersebut tercermin dari sejumlah sinyal penguatan ekonomi dalam negeri, salah satunya tren kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). 

Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi Bahana TCW, Budi Hikmat melihat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih berpotensi naik di tahun depan. Rupiah juga berpotensi berada di bawah level 14.000 pada akhir tahun. 

Baca Juga

"Hal ini didukung dengan sentimen-sentimen perbaikan ekonomi Indonesia tahun depan, dan harapan akan vaksin yang mulai didistribusikan," kata Budi, melalui keterangan tertulis, Senin (30/11).

Budi memproyeksikan IHSG akan berada pada level 6.800 pada tahun depan. Sepanjang November 2020, IHSG telah menguat 12,77 persen dan telah berada pada level 5.783. Meski demikian, IHSG masih belum berada di level pada awal tahun, saat di level 6.323. 

Budi menyatakan ada beberapa faktor pendorong yang menyebabkan IHSG berpotensi di level 6.800 pada tahun depan. Pertama, penyaluran stimulus dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang telah mencapai 78 persen. 

Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan jumlah uang beredar (M1 growth) sebesar 17,6 persen pada September 2020 lalu. Kondisi ini juga didukung dengan kenaikan harga komoditas.

Kedua, sinyal pertumbuhan kredit yang perlahan tumbuh. Meski pertumbuhan kredit di September hanya tumbuh 0,12 persen, angka ini masih positif dibandingkan pertumbuhan kredit pada kuartal 2 2020 lalu. 

Bank Indonesia (BI) memproyeksi, pertumbuhan kredit di kuartal IV 2020 akan membaik dibandingkan kuartal sebelumnya. Hal ini karena saldo bersih tertimbang mencapai 57,6 persen, yang lebih tinggi dibanding kuartal III lalu sekitar 50,7 persen. 

Budi mencermati aliran dana asing telah masuk pada Oktober, dan kian meningkat pada bulan November. Hal ini mendorong penguatan Rupiah, sehingga memberi keyakinan bagi BI untuk menurunkan suku bunga 3,75 persen, dengan situasi inflasi yang terkendali dan current account defisit turun bahkan berpotensi surplus di kuartal 3 2020. 

"Aliran dana asing ini didorong dari terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS yang memberi harapan adanya perubahan pada sejumlah kebijakan yang mendorong rotasi investasi ke negara berkembang," kata Budi. 

Perlu diketahui, sejak tahun 2008, stimulus telah memperkuat ekonomi negeri Paman Sam ini sendirian. Hal ini menyebabkan investor asing relatif malas ke negara berkembang. Hal ini terlihat dari pergerakan IHSG yang underperform selama 10 tahun. 

"Melihat beberapa indikator tersebut, kami melihat pasar obligasi dan saham berpotensi menguat, sebagai wadah dari investasi asing yang masuk. Adapun, jika yield obligasi turun, kita menargetkan investasi di pasar saham yang meningkat karena proyeksi imbal hasil yang lebih bagus," tutup Budi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement